13 June 2007

GURIT KACA RASA

sing dak sawang sangarepku iki
dudu awakmu
dudu tangga teparo
dudu simbah-simbahku

pancen ora bagus
apamaneh ayu
pawongan ing ngarepku
kang digaris pinggire
kanthi nglega
mbedakna antaraning gebyok
lan barang kinclong
yen kasaput surya

sing dak sawang mung
ala-ku dhewe
sajroning mripat ireng iku
luwih jero, luwih katon
ana samudera
kang ginaris
luwih amba

nanging mripatku
tibake ana wates
payawange
tan bisa nembus
luwih jero

aku tetep lila
nyawang pawongan
sing uga
lagi nyawang aku iku
awakku dhewe
apa anane.


Yonathan Rahardjo/ Ragunan, 29 Desember 2003
Damar Jati, Mei 2008

kue lumpur

kalau malam itu kamu diam,
kalau malam itu kamu tak tatap mata,
kalau malam itu kamu tak senyum,
kalau malam itu kamu tak ucap nama,
kamu tak perlu tahu kata-kata “andai kamu tahu”,
dariku.

biar ku datang, dan kau pandang.
biar ku pandang, dan kau bilang.
biar ku kata, dan kau dengar.
biar ku rasa, dan kau asah.
biar ku sapa, dan kau nyala.

biar tahu segala
kau adalah cinta.

dan biarkan kita jatuh bersama,
dengan kelambu sayapku,
atasi melangit jembatan,
atasi deras alir sungai berbatu,
tengahi lebat hutan beronak,

tahan,
ku tak ingin kecewamu,
kala kebiasaan harian
menculikmu
:membuat kue lumpur.

Yonathan Rahardjo/ malang-jakarta-tangerang-bogor, 1999-2007
Jurnal Nasional, Minggu, 13 April 2008

kue kering

mata yang menyala dari lubuk
kepala katakan getar
nadi nan pergi jauh dari
aroma
di mana nyala
di mana gerak
di mana naluri
akankah yang bicara
sekedar materi?
akankah terhubung
materi dengan hati?
meski tubuhku kering kini
syukurlah!
jiwaku tlah slalu menari

Yonathan Rahardjo/ warung jati-warung buncit, 2004-2007
Jurnal nasional, Minggu, 13 April 2008

kroket

ketika kuhitung jari kakiku,
ada kitek warna merah bekas tanah kuburan menempel ketat

susah, ia kubuang
ada bekas gurat tanah datar dan kulupakan pun sarat ingat

burung pun melempar mata ke jagung sebelah jari kaki
ia mencakar rumput pun koyak

rumput tetap tumbuh dalam hisapan udara kemilau mentari
buah kenari kuning bertengger di pundak penjual ayu

air yang kau buka pun jelangkan burung, tanah rumput, matahari harap, kehidupan, kebahagiaan,
di atas segala derita, tanah dan kematian.

terbanglah bersama burung sukses itu
air mu melesat secepat meteor
menjadi bintang sangat terang

aku terkesima atas kemilaunya
sedang milikku sendiri aku enggan
melepas genggaman.


Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2003-2007
Jurnal Nasional, Minggu, 13 April 2008

krecek rengginang

krecek rengginang

mari ciptakan mesin waktu
untuk kembali ke masa silam
atau percaya saja dengan sungguh
dan jangan ingkar

maka apa yang kau percayai
pasti akan terjadi

percaya datang dari penglihatan
tapi penglihatan belum tentu
penglihatan jatuh jadi
percaya

asal kau tahu,
aku, kau dan nasi
:kita satu eksistensi


Yonathan Rahardjo/ jakarta, 13 April 2003-2007
Jurnal nasional, Minggu, 13 April 2008

kopi pahit

per waktu
tak terlalu banyak
per pegas nan
tak terlalu bergerak
manakala kertas makin
berontak
asap mengepul
sembulkan onak
terbakar
membara
berasap
membumbung
menyamudera
melangit

kelam
kopi pahit
ada di sudut
hati dekil

Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2006
Jurnal Nasional, Minggu, 13 April 2008

kikil

manusia-manusia
menyiapkan cakar

cakar-cakar dalam
wujud-wujud gelar

manusia-manusia
membutuhkan diri

diri sendiri dicari-cari
meski ke mana-mana

:dibawai


Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2004-2007
Jurnal nasional, Minggu, 13 April 2008

fried chicken

tahlilmu antarnya terbang,
mengapa tabrak awang-awang?
runtuhlah runtuh sayap
yang angkutnya ke nirwana.
berserak jadi fried chicken terpilih
menu sepanjang

:kerongkong.

menjamurlah di musim penghujan
lezatkan lidah-lidah menetes air liur
hangatkan kerongkongan beku
netralkan lambung dari asam membelit
jangan kau lukai perasaan orang kampung
dagingmu hanya dari ayam

: asing


Yonathan Rahardjo/ bogor-rawamangun, 2003
Buletin BINA DESA, Januari-Maret 2008

bagea

tiba kau di tanganku
lewati kau tujuh laut
melanglang untuk jumpa
melangit untuk tiba
mendarati permadani lembut
malabrak tanya tak sekedar larut

permadani bernampan langit
perkatakan pada satu wangsit
kami tinggalkan alamat sperti slilit
kami lakukan pengakuan
kami jumpaimu adalah suatu kemujuran
ketika pohon-pohon sagu pada tumbang
ketika lidah-lidah ragu pada terbang
ketika selera-selera baru pada menggarang

tanahmu tlah dikepung musuh
tanahmu tlah dirampok keluh
sedang selembar daun sagu pun jatuh
sedang sehelai sayang mulai luruh
masih ada yang tunjukkan riang
jauh-jauh dari negeri sagu
menciumku tanpa ragu
menegaskan tanya
memanggil masa kecil
menggemakan masa akbar
sungguhkah di tanahmu
kau tak lagi punya
:akar

Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2007
Buletin BINA DESA, Januari-Maret 2008

ARUMANIS

rasanya aku mengenal
busa gula merah muda
semengenal masa kecilku
yang menari kembali
dengan kedatangannya
di belantara manusia
yang tak polos lagi
yang kutanya apa plastik bening
sanggup membiarkanku
masuk kembali ke masa kecil
yang terus menari
di kepala
ia yang terikat pada tusuk bambu
apakah bukan
hanya sekedar memori
sedang anak kecil di kepala
masih saja menunjuk, memagnet,
dan melengketkan
diri
adakah busa gula merah muda
itu bukan
cintaku
dan aku sendiri

yonathan rahardjo/ jakarta-bojonegoro, 2007

Arus Kata, 27-7-2007

Asinan

mata pucuk menara menari
menyisihkan taoge, kol, wortel, sawi asin
pepaya, nanas dan bengkuang

puncak rumah sedekap diam
menghaluskan cabai merah,
terasi, ebi, gula pasir dan garam

atap tenda silang tangan
menanti masaknya mereka

sribu mata sembab
bunyi lirih dalam beku
kau pucat wajah
hingga mendidih

smua bilang

ceriamu berbagi cerah
menyusun taoge, kol, wortel, sawi asin,
pepaya, nanas, dan bengkuang
dalam mangkuk,

sukacitamu menyiram
dengan kuah dan
taburi kacang goreng .

dan
bahagiamu bersilaturahmi
menyajikan dengan kerupuk mi

: tetaplah baka

yonathan rahardjo/ bekasi-depok, 2004-2007
Arus Kata, 27-7-2007

SAJEN

bunga hidup merah muda

jingga, kuning

yang dikelilingi daun hijau muda

hijau tua bergandeng mesra

dalam belanga coklat dari

kayu tiada semata

teteskan rindu

yang menetes diiringi bunyi

hujan

:merintih hangat


aku di sampingmu menggoreskan

kain jilbab yang membalut hangat

tubuhnya

merindu air hujan itu hangat mengalir

dan mengalir lincah berlompatan

tiada sekedar jenaka

namun kan selalu riang

dalam harap

di atas genting

jauh

di balik awan


: datanglah hujan

tapi, jangan sering-sering


Yonathan Rahardjo/ kampung makassar, 2004
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008

Salat Bar

kami berjajar merapat diri bukan untuk jadi sarden

kami serentak seragamkan gerak tangan dan kaki untuk menyembah Khalik


kami berjajar merapat diri bukan untuk jadi sarden

kami serantak seragamkan nasib bersolek manis


menghias bibir basah tersenyum kemayu

merayu selera segar untuk menyembah Khalik

melayani manusia menyantap kita diiring melodi mengalun

dalam remang lampu ruang

dalam tatap mata mesra

dalam senyum beradu jentik jari


membisikkan cinta

membilang ayo tambah lagi

semua untuk kita


Yonathan Rahardjo/jakarta, 2007
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008

rujak uleg

reruntuhan bangunan

berserak di setiap

lahan berdarah

mata berlinang air mata

sudah tidak tampak kini

mereka telah menyembunyikan

duka tak terperi

hari telah menyapu serakan

luka dan darah

namun luka itu tidak bakalan

sembuh dalam sehari

tuntunan kemanusiaan sangatlah dinanti

sungguh wajah-wajah luka

menunggu jiwa manusia

mengobati luka

bermakna

ini


Yonathan Rahardjo/ tebet, 2003
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008

RUJAK BEBEG

bukan karenamu ia jatuhkan buah ranum daun basah

bukan polahmu umbi batang ini bergoyang keras

aku hanya rasakan aliran darah manusia menatap

dalam tiap pori tempat mengintipnya


kau ada di situ aku tahu

aku kau awasi aku tahu


mata hatimu telah buta


kendati kulihat diriku

kau hanya melihat bayangmu

kau puaskan hasratmu hanya untuk dirimu


menangislah..

aku bisa rasakan

air matamu penuh

air mata bangga sepenuh

kau mau korban diri

jadi


:syuhada


Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2003-2007
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008

Roti Selai

ku tak tega kau terdatang bulan


ku tak ingin kau gigit

sudut

bibirmu

nan basah


keluar

:darah


Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2003
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008

ROTI PERJAMUAN

dipecah sekuat tenaga

tetap kukuh lawan angkuh


usir pergi pengutuk umat!


aku di sini tuk dihancur

cukup dengan rendah hati

dan lemah lembut


ini roti perjanjian

kan jadi milik

dan slamatkan hidup

hanya bila mau

tersungkur


penghancur kan slalu kalah

bila dilawan dengan

cucur jiwa

penuh cinta


mengapa ragu?

hanya satu kau butuh


: tabur!


di hati sendiri.


Yonathan Rahardjo/ pancoran, 2004
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008

Roti Keju

kilat

an lampu kita

tak lagi menerangi kertas baca

an di ruang kosong berkursi di

mana kita datang dan pergi

ramaikan telinga-telinga

tak ramaikan rongga dada

bo

cor

hanya karna di depan ada

lah monster yang bacakan

kopian pada ilmu dewa

nya.

ia katakan pada telinga calon dewa

yang terbata-

bata

ketika menghadapi

suatu ironi, langkah selalu berbenturan

antara teori dan

fakta

langkah selalu berhadap-hadapan

antara modal

dan niat berbagi.

kau katakan akan memberi sorga bagi kami

saat yang sama kau rampas sorga kami

meski, janji-

janjimu selalu kau dengungkan.

bisakah kau tambal jantung kami yang telah bocor

dengan kata-

katamu sendiri yang

lupa jati diri.


Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2006
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008

sambal terasi

tuhan katakan padanya ia di sana adalah kata kata

bercarik ujung jari

tuhan katakan di sana ada adalah nuansa terasi aroma

cinta

tuhan katakan di sana ada burung berflamboyan

menengguk air arus atas berpajang sendu

tuhan ajak saja aku ke sana menatapnya. kutak tahu apa

ia.


Yonathan Rahardjo/ depok-ragunan, 2002-2007
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008

ROTI BUAYA

aku juga sayang kamu

mengapa kamu pusatkan pada diri sendiri?


setelah energi demi energi kau curah saling menyayangi

antara kau dan aku

kok akhirnya kau hanya beri aku buaya


jangan keliru

ia lambang kita punya cinta setia


Yonathan Rahardjo/ bogor-jakarta, 2004-2007

Apresiasi Sastra 28 Maret 2008

ROTI BAKAR

roti bakar


dian tak kan pergi bila ia dapat kuraba.

ia tak kan pulang bila tak kutinggalkan.

kebutuhanku adalah merasakan dian itu ada

dan tampak ada yang berubah

dari rona wajahnya.


Yonathan Rahardjo/ depok, 2003

Apresiasi Sastra 29 Maret 2008

UPACARA BUMI

Rumpun berbicara kita tlah menjadi
semacam upacara mendarah dan menduri
dalam kepungan asap saudara-saudara
di rerimbun perhelatan yang tak juga merindu
bunga kita mengharum
bagi hidung-hidung bersumberkan tetes air sejuk itu
masih saja bunga kita adalah teka-teki yang menjamur
tak lagi enak untuk dikonsumsi
karna kita pun tak lagi menjadi tenaga
yang membantu mereka
kala dirobohkan tegak kakinya
kalau hujan petir mengabukan
tubuh sengsara

kita masih saja berkata-kata
tanpa pasti menurunkan tangan
yang masih berpelukan
di ranjang per-empu-an
seolah kitalah empu,
boleh berkata
tanpa cinta
boleh bercinta
tanpa tindakan.

sudah tumbang pohon itu
sudah banjir tanah ini.
sudah meledak tabung raksasa itu.
sudah menjadi birokrat, anak kampung kita.
kakinya enggan menjejak sawah bapaknya,
yang disekelilingnya, kita bakar
kemenyan,
mur,
dan bertabur
emas palsu.

Yonathan Rahardjo/ Planet Bumi, 2006
Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS) 08/I/2006

RUWAT BUMI

kebat
sabet
angkat swara
gaungkan
di sekujur ruang
rontokkan nyawa yang tak klihatan
dengan mulut menganga
suara menari-nari di antara
kau dan aku di ruang yang sama
sampai tumbuh pohon raksasa yang telah
kita
kerdil
kan
dengan kata-kata yang tidak punya kuasa.
meski tiap hari kita ucap
meski tiap detik kita gelegakkan
pada telinga penduduk
yang tak punya telinga hati.
hanya karna,
swara-swara kita tak membuahkan
sebuah periuk yang senantiasa
menyumber
nasi
hangat.


Yonathan Rahardjo/ Bumi, 7 tahun kemudian (2006)
Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS) No. 08/I/2006

kacang bali

walau kami seolah terdiam,
dan bisu di mata kalian.
angin masih berbisik,
kami masih cuma terbisik,
tapi tetap menari,
dan membisu dalam tari.

kita kan menari!
kita kan menari!
tak ada beban dan kejahatan yang bisa menahan kaki hati kita untuk selalu menari.
esok masih milik kita,
hari ini masih punya kita,
kemarin masih hak kita,
meski dengan tarian itu semua menjadi milik bersama. bersemilah,
bersemilah,
bersemilah!

tarian hati
dengan darah
:membutir bulat
kidung sembah

Yonathan Rahardjo/ depok-jakarta, 2003-2007
Batam Pos, 17 Februari 2008

kembang goyang

bergetar yang patut
bergerak yang akan
bergerak yang mesti
berirama mengikuti
irama-irama hati
ada sesuatu yang dicari
akankah tumpah
hanya karna
satu telikung mata
jatuh ke dada
jatuh ke perut
jatuh ke kelamin
pergerakan jadi sia
pergulatan jadi lepas
persemaian menumpu
menjerit dan mendelik
dan terkapar
tidur dalam puas
ada yang lepas
ada yang bebas
dalam sejurus nyali
ada pula yang kandas
tinggal pilih butuh apa
:tidur atau nyala

Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2004
Batam Pos, 17 Februari 2008

jus buah

tumpah air merah
tertumpah dari buah jantungku
tumpah menggenangi
tanah tumpah darahku

tertumpahlah
darah merahku

kau kata
darah siapa yang lebih merah?
darah siapa lebih tertumpah?

ngomong enak saja!
belum kau rasakan kulit terluka
belum kau rasakan
sirnanya
nyawa

belajar dari hal sama

kami tetap suka
meski ditumpah
diperas
diputar
dan dilumat

kami tetap suka

agar kau menjadi segar
agar kau menjelma sentosa

Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2005-2007
Batam Pos, 17 Februari 2008

kacang campur

kacang garam
kacang kuning
kacang hijau
kacang tak kulit
kacang tepung
meregu kuning
udang kuning
meregu merah
udang merah
cabe
garam
gula
perisa
minyak sawit
dalam satu plastik kemas

memangnya bangsaku tidak bisa
bikin?
kalau bisa,
mengapa harus impor dari
negeri tetangga?

dasar pemalas!

Yonathan Rahardjo/ cimanggis, 2007
Batam Pos, 17 Februari 2008

kerak telor

semua masa laluku telah mengerak
semua perbuatanku telah berbuahkan teriak
api gemeretak menjilat-jilat
ku tak mampu lagi sekedar kata apalagi teriak

bahkan digoyang pun aku diam
bahkan dibalik pun aku lekat
pada seluruh alat penghukuman
tanpa mampu melawan

hanya kepasrahan yang hiburkan
ia tak akan diam

dalam sekejap pun
aku akan dipulihkan
dan terhidang
dalam persembahan terbaik
dari semua yang kupunya
dari semua yang kumiliki
tak ada kata tidak kini
milikku hanyalah untuknya

sesungguhnya aku ini miliknya
hanya ia yang mampu
lepaskanku
dari kerak neraka panas ini

Yonathan Rahardjo/ ragunan, 2007
Batam Pos, 17 Februari 2008

siomay

Sini sini sini
langkah menjauhmu hanya berbuah lapar
nikmati hidangan tersedia ini
di pinggir perjalanan kau kan rasakan
ufuk masih jauh nak
ufuk juga sudah jauh
tubuhmu masih di terik siang
pemilik hari masih membakar ubun-ubun
boleh kau singgah di pemberhentian payung hitam
tapi tetap nikmati yang dihidang nak
tepung daging pare daun kol tahu telur dan wortel cacah
kacang tanah selalu serta
jangan kau ragukan tenggorokan kan terbakar nak
di antara jelaga saluran pencernaan masih ada air pembasuh segar nak
siomaymu hanya penjaga raga nak
ia masih punya teman banyak
jalanmu hanya penjaga konstanta nak
ia pun punya skala skala


Yonathan Rahardjo/ depok 24603
Antologi Puisi Bisikan Kata Teriakan Kota, Dewan Kesenian Jakarta 2003

arsik ikan mas

pada huruf yang terpelanting dari

sisik-sisik terkelupas

suatu masa tak pernah terselami oleh hati berlidah

digurih kemiri-kah?

dibakar cabe, kemiri, bawang merah-putih-kah - dibasah kunyit, bawang lokio, biji

andaliman-kah - dihasrat rindu dan cinta-kah?

didorong tanpa henti tak pernah kembali

mencari nas

jaman emas

sampai nyawa menjauh

sesingkat nasib

ikan mas

ya dipercik jahe jeruk nipis ya digaram nan tertolak samuderai sungai

agar sanggup memaknai entah sampai kapan agar hati punya nyali

kepala terus mendenting tali



Yonathan Rahardjo/ depok-bojonegoro, 2006-2007

Jurnal Nasional Minggu II/ April 2007

apem

mari kembali mengikuti pesta masa kecil

apem-apem

dihidang hangat

putih tepung menggelembung

berpantat coklat gosong cantik tepat

merambat uap memijat lidah mencecap dan mengucap

aku ingin lagi

apem

ini

membuka hati terang terang terang

kita ini negeri siang bergenerasi mabuk cemerlang

tak rasakan hari telah malam bergenerasi mabuk cemerlang

tak rasakan hari telah malam bergenerasi ditipu pembawa seram

bergunung terigu kita impor - bergunung tepung gandum kita gelontor - bergunung beras kita ketanggor - bergunung ubi dan singkong kita terpopor

menu sehari-harilah yang bau impor

dikebirilah rakyat untuk membayar

beranak wajah-wajah resahlah wabah sejarah

sedang tanah sendiri menolak bunting dan beranak

gandum yang membelantara

mendominasi jajanan dan makanan yang ada

sedang lidah tlah mendewasa menua telanjur amat mencinta mereka si penyingkir

ubi, singkong dan beras

tanah sendiri

nyawa kedaulatan pangan atas diri sendiri

sebenarnya, apa yang tlah terjadi?

pesta apem

dari tepung beras

terlezat

masa kecil

ingatkan tanya apa yang sebenarnya terjadi?



Yonathan Rahardjo/ jakarta-bojonegoro, 2007
Jurnal Nasional Minggu II/April 2007

gado-gado

mari merajut hari nak..

daun singkong daun pepaya buah pare

kacang tanah bawang putih cabe merah cabe hijau

menyusuri lembut dini Nak

buka mata lihat cuaca Nak

di tapak tangan piring menganga Nak

tadahkan panorama persahabatan dengan rindu terdera

mari buka hati menatap hari nak

Malammu telah lalu berlumur lumpur kasuwargan

mandikan dengan hujan kristal gado-gado nak

harimu tak jauh dari situ dan pengulangan itu

hari sunyi dalam hiruk

cipta pikuk dalam sendiri



Yonathan Rahardjo/ depok 24603

Bina Desa Oktober-Desember 2006

pecel lele

bersemailah dalam altar luas ini kawan

bunga-bunga liar memang bisa memagut tunas kakimu yang lembut

air ceramah coklat dari sawah boleh jadi temannya

berlumur air bau tanah pun biasa

tapak kaki melintasi altar ini membawa listrik listrik sendiri dalam

isyarat

hari kawan

tak perlu menahan

hanya pejamkan kedua kelopak matamu

itu cukup

dalam terang sekitar hanya kembali ke gelap yang lebih luas di dalam

kau kan

rasakan

undangan letih sebatas percengkeramaan hari

pesta lele sekedar mengisi hari

pecel pelumurnya sekadar bunga kehidupan

hasrat tertumpah dalam pedas panas gurih renyah berwangi daun

kemangi dan

segar mentimun

cuma sepenggal penghampiran



Yonathan Rahardjo/ depok, 2003

Antologi Puisi Bisikan Kata Teriakan Kota, Dewan Kesenian Jakarta 2003

batagor

punyakah kamu teman peranakan Batak dan Bogor

kukira dialah empunya dunia ini

dulu kulumuri kakiku dengan debu antara pucuk gunung dengan lembah datar tanah pantai

sengatan siang membakar lidahku menarik asam perutku berseteru dengan alam

hanya semilir hawa lapangan tengah kota ditemani rindang pohon yang memberiku isyarat hari tetap ramah

perhentian menjadi tetap terarah ketika datang menghampiri penatku sejumlah teka-teki

apakah ia yang punya pusat-pusat peradaban?

mungkin ya walau hanya berbalut kesederhanaan penampilan

ditarik sepeda tua wujudnya tetap merangsang

penggorengan menawarkan penampilannya elok di mata

apakah karna ku tak pernah mengenal dia sehingga ku jatuh cinta

jawabnya ternyata memang iya karena begitu ku tiba di ibukota yang namanya

bakso tahu goreng adalah jajanan biasa sangat biasa yang tersedia di setiap

ujung jalan ku lewat entah ke berapa kali hingga pagi ini

ternyata cintaku menghantarku lebih mengenal dia apa adanya

batagor tak sekedar penguasa dunia

tapi ia maharaja fakta



Yonathan Rahardjo/ Depok 24603

Bina Desa Oktober-Desember 2006

bukan serabi Bandung

terus terang aku heran waktu pertama kali ada serabi jadi komoditi mengembang

dikerumuni konsumen konsumen berselera kapal terbang

serabi nangka serabi keju serabi pisang serabi coklat serabi kismis serabi

kelapa seraba apa serabi apa serabi apa serabi apa

mobil mobil jadi penjaga setia mereka manakala duduk menghadap meja penuh beraneka warna serabi

nyonya seksi tuan jumawa melahap bertumpuk serabi berkelas

komat-kamit mulut gigi mengunyahnya jadi sahabat bunyi kecipak lidah ludah dan sendawa bir

dunia jadi miliknya

meski dunia serabi tetap bisa jadi simbol gengsi

dimodali pemilik pesawat terbang yang sudah kenyang spageti

perguratan jalan jadi saksi si pemilik daya cipta serabi yang semula masih

terseok tertatih terpuruk kerikil jalan desa terpencil

ia nenek tua yang duduk bersimpuh di pojok gang kumuh

serabinya cuma satu jenis

serabi berlumur santan kelapa

pagi datang ia membeber peralatan yang digendong dengan kain tua

pembeli datang serabi habis ia pun pulang

hari panjang masih lengang

harapanku hatinya tetap lapang

ia memang jualan serabi bukan untuk dimakan sendiri

tapi menghidangkan serabi buat siapa saja yang sedia beli

kalau pun nggak ada penikmatnya

ia tetap bikin serabi

walau merek serabinya masih serabi desa tua bukan serabi Bandung yang maju nan bergengsi

masih ada tetangga sesama nasib yang mau mencicipi



Yonathan Rahardjo/ depok 24603

Jurnal Nasional Minggu 12-11-2006

DI SITU

Di situ...
Balita berselonjor kaki, tubuh tanpa kain penutup
di balai-balai bambu beratap rumbai daun kelapa

Bocah lelaki kecil lincah berlari bermain bola
di hamparan pasir putih nan cemerlang
Gadis pemudi, pemuda remaja berjemur
juga menceburkan tubuh terbakar matahari
di dingin air segar

Nelayan mengayuh perahu menjauh
tuk memikat makhluk terjerat jala kail
di hamparan riak air
Beraneka jenis, bentuk, warna-warni
makhluk itu menyelam, melayang, mengapung
bebas lepas

Sayang...
Manusia serakah memasang pukat harimau
menabur racun, merampas semua kekayaan tak terbatas
Bom-bom diledakkan,
Meremukkan terumbu karang

Perompak tertawa sampai perut terguncang
berhasil menyandera awak kapal
bertekuk lutut di ujung pedang, bedil, dan mata mendelik

Pemilik harta mengikat leher nelayan dengan
perjanjian hutang piutang berbunga besar dengan
alasan supaya nelayan mampu merakit perahu, membeli
motor

Pejabat sibuk merekayasa bagaimana pulau-pulau
kecil tak perpenghuni pindah status pemakaian ke tangan
panas berlumpur siasat mendongkrak devisa pembayar utang
negara

Di situ...
si nelayan miskin bertaruh hidup
si tengkulak menabur janji menuai sekarat nelayan
si pedagang berpesta uang ikan hias, terumbu karang
si pejabat mengeruk isi berdalih kesejahteraan

Di situ...
di pantai
si pantai sendiri makin merana kering
Terbakar terik panas surya siang
menggigil beku berbalut dingin hawa malam
terkikis gelegak samudera perkasa karna mangrovenya
telah tiada dan liat pantai menjadi kering rapuh berdebu
hingga si balita tak berbaju dan celana yang mestinya
merasakan sejuk semilir angin sepoi
justru malah keblingsatan kepanasan.


Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 24 Juli 2000
Kabar Bumi Edisi 19/ Juni-Agustus 2000

PUISI UNTUK PRAM

Sepanjang hidup ku tidak
pernah tulis puisi

prosa prosa dan prosa yang kutulis

Selama hayat ku tak pernah gunakan
kecengenganku
yang malah tumbuh bila kutulis
puisi

yang kuharap bukan puisi yang kutulis
yang jatuhkanku dari
keras hati
setegar gunung karang
sampai akhir

kuhisap tembakau tanpa api
kutulis jiwa tanpa lemah
yang ada pada puisi

namun itu untuk aku
kalau untukmu
tulislah,
cengeng puisi

meski kau ikuti aku
toh kamu
tetaplah kamu

kau bunga
aku karang
kita bisa jadikan bunga karang

karang bunga
pilihanku.

Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 12-5-2006
Majalah Aksara Edisi 07 Agustus-September 2006

NERACA

Andai kuputar waktu
Tak kujumpa rembulan-rembulan

Sedalam inikah
Bahkan
Seberapa dalamkah
Sesungguhnya

Kasihku padamu


Yonathan Rahardjo/ Jakarta, Januari-Pebruari 2005
Majalah Infovet Edisi 128 Maret 2005

FLU BURUNG

Ciap-ciap anak-anak kami bernafaskan gairah
lari-lari anak-anak kami berselimutkan energi ungu
kami bahagia lho
sungguh

meski,
kokok suami-suami kami tidak pernah menjadi milik kami
bahkan kotek induk-induk kami tidak pernah kami dengar

kami sudah dipisah sedari induk-induk kami sudah menggulir telur dari
mana kami menetas
kami sebatang kara sedari lahir
tapi kami bertelur
ribuan
ribuan
ribuan
untuk lelaki
untuk perempuan
untuk anak
untuk bangsa lelaki dan perempuan
untuk bangsa manusia-manusia
untuk peradaban
untuk otak cerdas
hanya dengan kuning dan putih kami
hanya dengan telur kosong tanpa generasi baru kami.

kami berfungsi sebegitu saja
berhari-hari
berminggu-minggu
berbulan-bulan
bertahun-tahun
tanpa pernah mendengar tangis anak-anak kami

yang bisa kami dengar hanyalah
tangis-tangis kami

meski itu hanya sekejap sekali
dan kami pergi
tak kembali

tanpa pernah bisa berbisik dan berteriak di telinga dokter hewan tuli

itu virus AI!

bukan virus tetelo yang kau taburkan pada tubuh-tubuh kami
menambah bangsa kami makin
mati.

di mana kau sisakan bahagia kami?


Yonathan Rahardjo/ Jakarta, Januari 2004
Buku Avian Influenza: Pencegahan, Pengendalian, Dan Pemberantasannya, 2004

UNTUK PARA PEMENANG

Adam Air bangkainya masih terus dicari.
Senopati separuh penumpangnya masih belum ditemui.
Bengawan bangkainya masih di jurang makan hati.
Lapindo Sidoarjo lumpur panas masih terus merajai
Poso bara tentara, polisi dan rakyat masih mengasapi
Banyuwangi bupati versus rakyat masih dicoba dimoderasi.
Langsung atau tidak mempengaruhi kerja kaum peternakan dan kesehatan hewan.
Dalam kerja.
Dalam karya.
Mungkin di antara korban raibnya Adam Air adalah keluarga kaum ini.
Mungkin di antara korban Senopati adalah sanak kaum ini.
Mungkin di antara korban Bengawan adalah famili kaum ini.
Mungkin di antara semua musibah,
kaum peternakan dan kesehatan hewan punya derita
tubuh, jiwa dan hati.
Kita pun berduka.
Kita pun tunduk kepala.
Kita pun bela sungkawa.
Dan Kita pun makin berduka.
Kala Flu Burung
karena dianggap mematikan orang
penumpasan unggas masih terus mendera.
Mengikuti kasus demi kasus yang telah membuat luka nganga.

Semua telah terjadi.
Semua telah makan hati.
Semua telah membuat luka makin nganga.
Apa boleh buat.
Semua telah terjadi.
Dan dalam hidup kita mesti bangkit.
Dan selalu bangkit lagi.
Bukankah masih ada harap dalam pekat.
Bukankah masih ada asa dalam derita.
Bukankah masih ada iman dalam ketakutan.
Bukan saatnya saling salahkan.
Bukan saatnya saling banggakan.
Ini adalah saatnya saling bergandeng tangan.
Ayo kita tegakkan kepala.
Ayo kita bangkitkan jiwa.
Segala penyakit pasti ada obatnya.
Segala derita pasti ada maknanya.
Segala lara pasti ada pelipurnya.
Bukankah pengalaman serupa pada masa silam kita sudah punya.
Bukankah penyakit-penyakit yang dulu tak dikenal,
kini kita telah punya penangkalnya.
Bukankah suka duka masa lampau kita telah atasi bersama.
Pasti sekarang juga,
kita tak akan terus kecewa.
Pandang ke depan.
Maju dengan gagah.
Gunakan segenap perlengkapan senjata.
Yakin dan Imani.
Kitalah pemenang permasalahan masalah ini.

Yonathan Rahardjo/ Jakarta, Januari 2007
Majalah Infovet Edisi 151 Pebruari 2007

Bercinta Mencegah Hutan Gundul

Apa yang suami perlakukan pada istri
dan sebaliknya
akan menentukan kehidupan rumah tangga
laksana di surga
atau di neraka

Apa yang kita perlakukan pada lingkungan
di situlah jawab dari semua problema kita
Ia, lingkungan..
akan memberi kenyamanan
ataukah justru ancaman

Mau menciptakan lingkungan laksana surgakah?
Atau malah neraka?

Tinggal pikiran,
hati,
dan tangan ini
mau secara praktis menyingkirkan AC freon
atau tidak.
Ataukah masih memakai tissue kertas
pembawa bencana bagi hutan
ataukah lebih memilih
sapu tangan kain.

Masih ingat syair lagu
'SAPU TANGANKU WARNA MERAH JAMBU?"
Berikan pada kekasihmu
sapu tangan kain macam ini.
Bukan sapu tangan tissue kertas.

Sekalipun kekasihmu meneteskan air mata..
Atau dia merengek manja
membutuhkan belaian yang menghiburnya
dan ia begitu bahagia sampai air matanya mengembang..

Jangan usap dengan tissue itu..
Jangan usap sekalipun lembut kertas itu..
Usap dia dengan sapu tangan cintamu
entah itu warna merah jambu.. atau biru, ataupun ungu..
Usap ia dengan sapu kain tanganmu
Mengapa?
Mengapa harus begitu?
Sebab dengan cara itu..
Pada saat bercintapun..
Kamu..
Anda..sudah mengurangi penebangan pohon
Mengurangi
penggundulan hutan
mengurangi anak cucu semakin berwajah kuyu
di kehidupan yang penuh semu
karena tanah pijakannya tak lagi seperti dulu. ***


Yonathan Rahardjo, 1999
Berita Bumi/ Konphalindo, 2000

JakartaKota – Bogor

Kemarin ia naik kereta listrik seperti biasa..

dari Jakarta ke Bogor

Ditinggalkannya rumahnya di bawah stasiun Gondangdia

dengan merangkak

karena ia tak lagi punya kaki..

Putus terlindas saat menyeberang rel kereta perkasa

saat ia mau memungut gelas plastik aqua,

Dan dimasukkannya ke dalam karung goni di punggungnya..

Untuk dijual sekilonya dua ribu lima ratus lima puluh perak



Tadi ia naik kereta listrik

dari Jakarta ke Bogor..

Tangannya menggapai tangga tempat penumpang dari segala otot dan keringat

menginjak-injak dan menetesi lantai besi tempatnya merangkak,

tangannya yang hitam jarang disabun tetap bertahan mencengkeram

gelas plastik yang telah peyok..

agar tetap bisa dipakainya menengadah

pada tante berlipstik merah menyala berambut keriting berbando kuning..

pada gadis berkaos ketat 'you can see my centre'

pada si kacamata Ketua PRD yang terpaksa nyaman menekuk punggung kayak ayam tetelo

mendengkur membebaskan diri dari desak dempetan penumpang

yang mengklaim kereta adalah Mercedes benz-nya yang

SSSSSSSSSS



Sangat Sempit Sekali Sampai-Sampai Santai Sekaki Saja Sulit Sekali



Baru saja..

Ia, si perjaka kumis jarang buntung kaki memeringiskan gigi kuning bercak coklatnya..

Sambil berteriak serak dinyaring-nyaringkan..

SEMOGA BAPAK DAN IBU SEMUA SELAMAT SAMPAI TUJUAN!

Dan..Krincing! Di gelas plastik aquanya sudah ada satu keping 'cepekan', uang seratusan, setiap dua puluh penumpang..



Sedetik lalu.. baru ia menyadari..

Ia tak pernah menghitung.. berapa kali ia bisa sampai Bogor setiap hari,

Padahal rumahnya di Gondangdia, kekasihnya Cikini

baru terlintas di benaknya pertanyaan..

berapa kali ia pergi pulang Bogor-Kota dengan plastik aqua

di jemari tangannya yang kian kusut disapu panas Jakarta,

panas kereta,

panas keringat,

dan kentut penumpang



Yang selalu dihitung hanya..

Yang bisa didengarnya..

Krincing!

Agar ia bisa kembali lagi ke Gondangdia..

Di lorong, di bawah jalur kereta rel listrik,

JakartaKota-Bogor

Setelah membeli lontong berbalut daun pisang

Di stasiun tempanya mengampil nafas…… panjang.



Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 16 Juni 2000

Kabar Bumi Edisi 22/Mei-Juli 2001

GEMPA KUASAMU

sunyi pagi menjerat kami

tak tahu kedatanganmu seperti pencuri

merampas nyawa kami yang kini berharga murah

menggodam tubuh kami yang masih punya darah

membanjirkan sgala upaya menjadi uap nyawa

berbalutkan darah-darah pergi

meninggalkan tangis yang menjadi

ciri

keseharian kami

dalam putus asa

tiada rumah tinggal,

karna smua tlah kau remuk

tiada tempat mengais nasi

sbab smua tlah kau rampas

tiada sanak saudara

sbab smua tlah kamu bunuh

dengan dingin,

tanpa mata berkedip

jantung kami pun ambrol

kamu betot

ketika di utara merapi sedang mengamuk dan memuntahkan abu

ketika di timur antar kami sendiri saling gencar mencabut urat-urat yang

menyusun rangka kami

ketika di barat pemerintah dan wakil kami berkelahi saling jambak

memperebutkan rambut cita-cita kami yang telah brodol

menyisakan botak asa mengikuti pertikaian

anak negeri yang selalu mengikuti kata hati sendiri

untuk membenarkan diri



hingga dari selatan

kau ingatkan kami atas

tindak dan hati terkutuk kami

untuk menengok sesuatu yang mesti

kami

utamakan



kuasamu, sungguh lebih

dahsyat.



Yonathan Rahardjo/ Jakarta, Juni 2006

Buletin BINA DESA April-Juni 2006

Nurani KOREK JUMBO

Katakan benar kau sekongkol tutup awan

Lafalkan ya kau hambat pemeriksaan

Ujarkan jujur, kau tutup masalah, tuk

Buat rasa salahmu makin kuat buat bejat

Penguasamu

Yang sekarang masih sungguh benar kuasa

Perkasa, mahadaya di negeri

dengan menghisap kami, darah,

nan bikin negeri ini ada

Yang punya hak sama

Duduk di kursi kebersamaan dan

meja perjamuan sederajat


Akui, kau masih punya telinga utuh

tuk sampaikan nurani semesta kepada nurani dadamu

seperti sayangmu pada anak, istri,

cucu, darah, dagingmu sendiri

kami, kamu, mereka, kita, manusia-manusia, wajah-wajah, orang-orang, darah-darah,

airmata-airmata, daging-daging, jiwa-jiwa, hati-hati, semua-semua.

Semua-semua adalah kamu juga, yang mestinya tak kau

Hilang paksa, mati perkosa,

mampus terhunus,

tewas teracun,

lunglai dan nyawa terbang hilang, sekedar

Untuk menyelamatkan posisi kuasa dan hasrat hidup terhormat sendiri, tanpa ancaman

bunga-bunga kebenaran

yang jadi korek

kuping buntu

mu

yang patut dibedah bunga kebenaran

setajam nuranimu sendiri.



Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 10 Nopember 2005

Buku Antologi Puisi untuk Munir Nubuat Labirin Luka, Sayap Biru, Aceh Working Group, 2005

DI-MUNIR, DI LABIRINNYA

Daun dedaun tak lagi hijau segar

coklat tua warnanya jalari sluruh kuning muka

Kering, retas dan lapuk

Luruh dan jatuh, melayang, lemas,

mati.

Dedaunan musim gugur nan layu di tanah putih

jemput matimu

tanpa penjelasan hakiki

di atas garuda bersayap hitam misteri

tembus kabut emas

kedok dari kain gombal

Sisakan mahakuatnya kuasa

menggurita

Melilit

Sedot sumsum tulang sampai kering

sisakan mata pincing

cacah curiga

sesak selidik

sarat tipu politik

Merengas darah kering

Makin kilap

Silaukan mata

dari

Tumbuh sehat merdeka bersama.

Yang kau

jaga sedari lahir

kelola selaksa waktu

juangkan sejurus mata

gegapkan

Tembus malam kilatkan terik siang

Hak Azasi Anak-anak Manusia

Dengan handai taulan

dan

Istri

tercinta



Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 8 Nopember 2005

Buku Antologi Puisi untuk Munir Nubuat Labirin Luka, Sayap Biru, Aceh Working Group, 2005

BURU (di pulau)

dindaku sayang

mari mengasah pisau

yang kita pakai untuk memotong

kayu

dan menghaluskannya untuk membuat

leher gitar

yang akan menemani

kita melewatkan malam di pulau bernyamuk

berular

bergelap tidak perpenghuni


kampung bekedap


mari kita lebih mendekatkan diri

ketika seharian lelah

menyiksa

tetesan keringat

mengucur

perut melilit

tekanan menerkam ulu hati

perintah-perintah orang berlars panjang

mengambil barang sesuka hati

dari setiap tetes keringat bercampur darah

kita

yang menyemainya di terik

panas siang

di ubun-ubun tengah hari


biar denting tali senar

dari kawat baja kabel-kabel sisa,

triplek bekas, kayu-kayu sisa,

krep-krep baja patah

patah menjadi wujud

percintaan kita

yang mengalirkan petikan

dentingan

genjrengan

alunan menggema dari rongga hawa membelah malam

menyuarakan kegalauan

kita

terdengar sampai jakarta

dan

new york


kau memang

sayangku

yang telah menyusul

dan menemaniku

memberi nafas

dan bercinta

bersama di pulau ini

menghitung hari

merangkai sajak pembelejetan hak-

hak hidup manusia

pki.


kemaluanku dipotong

ditempelkan di telinga

menggantikan alat pendengaran

yang saban hari dipopor bedil

angkatan darat

hingga untuk mendengar

orang bertanya

tentang bumi manusiaku

harus kusuruh

mereka berteriak

memakai pengeras suara

APAAAAAAAAAAA???????!!!!!!!!!!!!



Yonathan Rahardjo/ Perbatasan Jakarta-Depok, 30 September 2003

Buku Antologi Tragedi Kemanusiaan 1965

PULIHKAN Aceh

Munir digulung Aceh

Tahun Baru digulung Aceh

Imlek digulung Aceh


Pulihkan Aceh


kau tak kan mampu

kembalikan jasad kami



Yonathan Rahardjo /Jakarta, Januari 2005

Buku Antologi Puisi MahaDuka Aceh, PDS HB Jassin, 2005

Puisi-Puisi Jawaban Kekacauan