di bubur dan mi
jago kate menang di rumah sendiri.
labrak sana-sini patuk sabetkan pedang tumpul.
darah bukan karena tajam tapi sekuat batunya gila.
main, menang, main, kalah, main, ko,
main, mati, main, mampus.
apa dicari makin seperti terasi busuk
dimakan lalat malam.
di bawah bertebaran belepotan tai bertaburan
laksana pupuk urea setumpuk nasi impor
bernama mi.
ayam berpacu dari kandang,
teriak ngeri terbilang, ribuan surai melayang,
mana kuping, mana otak, mana dada,
goncang getar otot, koyak buluh darah, lari terlunta.
rajam kasih sayang, ia hidup tapi kami jagal,
ia bergairah tapi kami buat berdarah.
kami mangsa kehidupan, hamba keraguan,
ragu hilang, kala yakin sahabati selera,
ganti aroma, gauli cita rasa, gauli rejan pangkal lidah,
teguk air liur, biar tetesnya antara rasa di lidah,
antara gelisah ganti gairah, dalam mangkuk bubur ayam,
cita rasa rajam dendam, basuh rindu, lupa prosesi,
slalu ingin lagi.
ayam tak sendiri lagi, tlah satu dengan bubur,
garam, bawang putih, kuah sari ayam sendiri,
hancur dan menyatu,
krupuk hidupi, kacang warnai, bawang merah jadi saksi.
ayam sendiri hilang pribadi. enak lezat gurih renyah.
tapi ia bangkai gigit telusur cekik leher lumat isi perut.
penipuan? ya.
pemalsuan? ya.
perusak etika? ya.
penghancur norma? ya.
gimana gak ada yang lapor?
lapor saja.
polisi petugas, pembeli.
lupakan kasihan, iba, ingatan,
ia butuh makan.
cari makan toh bukan dari bangkai.
masa suruh makan.
bangkai tuk beri makan orang miskin melarat.
ia tetap jual dan laku.
murah meriah di warung.
depot restoran siapa tahu?
masa makan bangkai di kedai tak ingat umur.
bangkai, mengapa tak boleh dimakan?
kalau mau kan bisa jadi sumanto?
tuduhan bukan makan bangkai.
tapi penipuan.
ah lemahnya jerat penjaja bangkai
pencuri bangkai
pengibul bangkai.
bau busuk bukan hanya di bangkainya.
Yonathan Rahardjo/ depok-jakarta, 2003-2004
kompas.com/ Jumat, 14 November 2008
No comments:
Post a Comment