sing dak sawang sangarepku iki
dudu awakmu
dudu tangga teparo
dudu simbah-simbahku
pancen ora bagus
apamaneh ayu
pawongan ing ngarepku
kang digaris pinggire
kanthi nglega
mbedakna antaraning gebyok
lan barang kinclong
yen kasaput surya
sing dak sawang mung
ala-ku dhewe
sajroning mripat ireng iku
luwih jero, luwih katon
ana samudera
kang ginaris
luwih amba
nanging mripatku
tibake ana wates
payawange
tan bisa nembus
luwih jero
aku tetep lila
nyawang pawongan
sing uga
lagi nyawang aku iku
awakku dhewe
apa anane.
Yonathan Rahardjo/ Ragunan, 29 Desember 2003
Damar Jati, Mei 2008
13 June 2007
kue lumpur
kalau malam itu kamu diam,
kalau malam itu kamu tak tatap mata,
kalau malam itu kamu tak senyum,
kalau malam itu kamu tak ucap nama,
kamu tak perlu tahu kata-kata “andai kamu tahu”,
dariku.
biar ku datang, dan kau pandang.
biar ku pandang, dan kau bilang.
biar ku kata, dan kau dengar.
biar ku rasa, dan kau asah.
biar ku sapa, dan kau nyala.
biar tahu segala
kau adalah cinta.
dan biarkan kita jatuh bersama,
dengan kelambu sayapku,
atasi melangit jembatan,
atasi deras alir sungai berbatu,
tengahi lebat hutan beronak,
tahan,
ku tak ingin kecewamu,
kala kebiasaan harian
menculikmu
:membuat kue lumpur.
Yonathan Rahardjo/ malang-jakarta-tangerang-bogor, 1999-2007
Jurnal Nasional, Minggu, 13 April 2008
kalau malam itu kamu tak tatap mata,
kalau malam itu kamu tak senyum,
kalau malam itu kamu tak ucap nama,
kamu tak perlu tahu kata-kata “andai kamu tahu”,
dariku.
biar ku datang, dan kau pandang.
biar ku pandang, dan kau bilang.
biar ku kata, dan kau dengar.
biar ku rasa, dan kau asah.
biar ku sapa, dan kau nyala.
biar tahu segala
kau adalah cinta.
dan biarkan kita jatuh bersama,
dengan kelambu sayapku,
atasi melangit jembatan,
atasi deras alir sungai berbatu,
tengahi lebat hutan beronak,
tahan,
ku tak ingin kecewamu,
kala kebiasaan harian
menculikmu
:membuat kue lumpur.
Yonathan Rahardjo/ malang-jakarta-tangerang-bogor, 1999-2007
Jurnal Nasional, Minggu, 13 April 2008
kue kering
mata yang menyala dari lubuk
kepala katakan getar
nadi nan pergi jauh dari
aroma
di mana nyala
di mana gerak
di mana naluri
akankah yang bicara
sekedar materi?
akankah terhubung
materi dengan hati?
meski tubuhku kering kini
syukurlah!
jiwaku tlah slalu menari
Yonathan Rahardjo/ warung jati-warung buncit, 2004-2007
Jurnal nasional, Minggu, 13 April 2008
kepala katakan getar
nadi nan pergi jauh dari
aroma
di mana nyala
di mana gerak
di mana naluri
akankah yang bicara
sekedar materi?
akankah terhubung
materi dengan hati?
meski tubuhku kering kini
syukurlah!
jiwaku tlah slalu menari
Yonathan Rahardjo/ warung jati-warung buncit, 2004-2007
Jurnal nasional, Minggu, 13 April 2008
kroket
ketika kuhitung jari kakiku,
ada kitek warna merah bekas tanah kuburan menempel ketat
susah, ia kubuang
ada bekas gurat tanah datar dan kulupakan pun sarat ingat
burung pun melempar mata ke jagung sebelah jari kaki
ia mencakar rumput pun koyak
rumput tetap tumbuh dalam hisapan udara kemilau mentari
buah kenari kuning bertengger di pundak penjual ayu
air yang kau buka pun jelangkan burung, tanah rumput, matahari harap, kehidupan, kebahagiaan,
di atas segala derita, tanah dan kematian.
terbanglah bersama burung sukses itu
air mu melesat secepat meteor
menjadi bintang sangat terang
aku terkesima atas kemilaunya
sedang milikku sendiri aku enggan
melepas genggaman.
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2003-2007
Jurnal Nasional, Minggu, 13 April 2008
ada kitek warna merah bekas tanah kuburan menempel ketat
susah, ia kubuang
ada bekas gurat tanah datar dan kulupakan pun sarat ingat
burung pun melempar mata ke jagung sebelah jari kaki
ia mencakar rumput pun koyak
rumput tetap tumbuh dalam hisapan udara kemilau mentari
buah kenari kuning bertengger di pundak penjual ayu
air yang kau buka pun jelangkan burung, tanah rumput, matahari harap, kehidupan, kebahagiaan,
di atas segala derita, tanah dan kematian.
terbanglah bersama burung sukses itu
air mu melesat secepat meteor
menjadi bintang sangat terang
aku terkesima atas kemilaunya
sedang milikku sendiri aku enggan
melepas genggaman.
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2003-2007
Jurnal Nasional, Minggu, 13 April 2008
krecek rengginang
krecek rengginang
mari ciptakan mesin waktu
untuk kembali ke masa silam
atau percaya saja dengan sungguh
dan jangan ingkar
maka apa yang kau percayai
pasti akan terjadi
percaya datang dari penglihatan
tapi penglihatan belum tentu
penglihatan jatuh jadi
percaya
asal kau tahu,
aku, kau dan nasi
:kita satu eksistensi
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 13 April 2003-2007
Jurnal nasional, Minggu, 13 April 2008
mari ciptakan mesin waktu
untuk kembali ke masa silam
atau percaya saja dengan sungguh
dan jangan ingkar
maka apa yang kau percayai
pasti akan terjadi
percaya datang dari penglihatan
tapi penglihatan belum tentu
penglihatan jatuh jadi
percaya
asal kau tahu,
aku, kau dan nasi
:kita satu eksistensi
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 13 April 2003-2007
Jurnal nasional, Minggu, 13 April 2008
kopi pahit
per waktu
tak terlalu banyak
per pegas nan
tak terlalu bergerak
manakala kertas makin
berontak
asap mengepul
sembulkan onak
terbakar
membara
berasap
membumbung
menyamudera
melangit
kelam
kopi pahit
ada di sudut
hati dekil
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2006
Jurnal Nasional, Minggu, 13 April 2008
tak terlalu banyak
per pegas nan
tak terlalu bergerak
manakala kertas makin
berontak
asap mengepul
sembulkan onak
terbakar
membara
berasap
membumbung
menyamudera
melangit
kelam
kopi pahit
ada di sudut
hati dekil
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2006
Jurnal Nasional, Minggu, 13 April 2008
kikil
manusia-manusia
menyiapkan cakar
cakar-cakar dalam
wujud-wujud gelar
manusia-manusia
membutuhkan diri
diri sendiri dicari-cari
meski ke mana-mana
:dibawai
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2004-2007
Jurnal nasional, Minggu, 13 April 2008
menyiapkan cakar
cakar-cakar dalam
wujud-wujud gelar
manusia-manusia
membutuhkan diri
diri sendiri dicari-cari
meski ke mana-mana
:dibawai
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2004-2007
Jurnal nasional, Minggu, 13 April 2008
fried chicken
tahlilmu antarnya terbang,
mengapa tabrak awang-awang?
runtuhlah runtuh sayap
yang angkutnya ke nirwana.
berserak jadi fried chicken terpilih
menu sepanjang
:kerongkong.
menjamurlah di musim penghujan
lezatkan lidah-lidah menetes air liur
hangatkan kerongkongan beku
netralkan lambung dari asam membelit
jangan kau lukai perasaan orang kampung
dagingmu hanya dari ayam
: asing
Yonathan Rahardjo/ bogor-rawamangun, 2003
Buletin BINA DESA, Januari-Maret 2008
mengapa tabrak awang-awang?
runtuhlah runtuh sayap
yang angkutnya ke nirwana.
berserak jadi fried chicken terpilih
menu sepanjang
:kerongkong.
menjamurlah di musim penghujan
lezatkan lidah-lidah menetes air liur
hangatkan kerongkongan beku
netralkan lambung dari asam membelit
jangan kau lukai perasaan orang kampung
dagingmu hanya dari ayam
: asing
Yonathan Rahardjo/ bogor-rawamangun, 2003
Buletin BINA DESA, Januari-Maret 2008
bagea
tiba kau di tanganku
lewati kau tujuh laut
melanglang untuk jumpa
melangit untuk tiba
mendarati permadani lembut
malabrak tanya tak sekedar larut
permadani bernampan langit
perkatakan pada satu wangsit
kami tinggalkan alamat sperti slilit
kami lakukan pengakuan
kami jumpaimu adalah suatu kemujuran
ketika pohon-pohon sagu pada tumbang
ketika lidah-lidah ragu pada terbang
ketika selera-selera baru pada menggarang
tanahmu tlah dikepung musuh
tanahmu tlah dirampok keluh
sedang selembar daun sagu pun jatuh
sedang sehelai sayang mulai luruh
masih ada yang tunjukkan riang
jauh-jauh dari negeri sagu
menciumku tanpa ragu
menegaskan tanya
memanggil masa kecil
menggemakan masa akbar
sungguhkah di tanahmu
kau tak lagi punya
:akar
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2007
Buletin BINA DESA, Januari-Maret 2008
lewati kau tujuh laut
melanglang untuk jumpa
melangit untuk tiba
mendarati permadani lembut
malabrak tanya tak sekedar larut
permadani bernampan langit
perkatakan pada satu wangsit
kami tinggalkan alamat sperti slilit
kami lakukan pengakuan
kami jumpaimu adalah suatu kemujuran
ketika pohon-pohon sagu pada tumbang
ketika lidah-lidah ragu pada terbang
ketika selera-selera baru pada menggarang
tanahmu tlah dikepung musuh
tanahmu tlah dirampok keluh
sedang selembar daun sagu pun jatuh
sedang sehelai sayang mulai luruh
masih ada yang tunjukkan riang
jauh-jauh dari negeri sagu
menciumku tanpa ragu
menegaskan tanya
memanggil masa kecil
menggemakan masa akbar
sungguhkah di tanahmu
kau tak lagi punya
:akar
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2007
Buletin BINA DESA, Januari-Maret 2008
ARUMANIS
rasanya aku mengenal
busa gula merah muda
semengenal masa kecilku
yang menari kembali
dengan kedatangannya
di belantara manusia
yang tak polos lagi
yang kutanya apa plastik bening
sanggup membiarkanku
masuk kembali ke masa kecil
yang terus menari
di kepala
ia yang terikat pada tusuk bambu
apakah bukan
hanya sekedar memori
sedang anak kecil di kepala
masih saja menunjuk, memagnet,
dan melengketkan
diri
adakah busa gula merah muda
itu bukan
cintaku
dan aku sendiri
yonathan rahardjo/ jakarta-bojonegoro, 2007
Arus Kata, 27-7-2007
busa gula merah muda
semengenal masa kecilku
yang menari kembali
dengan kedatangannya
di belantara manusia
yang tak polos lagi
yang kutanya apa plastik bening
sanggup membiarkanku
masuk kembali ke masa kecil
yang terus menari
di kepala
ia yang terikat pada tusuk bambu
apakah bukan
hanya sekedar memori
sedang anak kecil di kepala
masih saja menunjuk, memagnet,
dan melengketkan
diri
adakah busa gula merah muda
itu bukan
cintaku
dan aku sendiri
yonathan rahardjo/ jakarta-bojonegoro, 2007
Arus Kata, 27-7-2007
Asinan
mata pucuk menara menari
menyisihkan taoge, kol, wortel, sawi asin
pepaya, nanas dan bengkuang
puncak rumah sedekap diam
menghaluskan cabai merah,
terasi, ebi, gula pasir dan garam
atap tenda silang tangan
menanti masaknya mereka
sribu mata sembab
bunyi lirih dalam beku
kau pucat wajah
hingga mendidih
smua bilang
ceriamu berbagi cerah
menyusun taoge, kol, wortel, sawi asin,
pepaya, nanas, dan bengkuang
dalam mangkuk,
sukacitamu menyiram
dengan kuah dan
taburi kacang goreng .
dan
bahagiamu bersilaturahmi
menyajikan dengan kerupuk mi
: tetaplah baka
yonathan rahardjo/ bekasi-depok, 2004-2007
Arus Kata, 27-7-2007
menyisihkan taoge, kol, wortel, sawi asin
pepaya, nanas dan bengkuang
puncak rumah sedekap diam
menghaluskan cabai merah,
terasi, ebi, gula pasir dan garam
atap tenda silang tangan
menanti masaknya mereka
sribu mata sembab
bunyi lirih dalam beku
kau pucat wajah
hingga mendidih
smua bilang
ceriamu berbagi cerah
menyusun taoge, kol, wortel, sawi asin,
pepaya, nanas, dan bengkuang
dalam mangkuk,
sukacitamu menyiram
dengan kuah dan
taburi kacang goreng .
dan
bahagiamu bersilaturahmi
menyajikan dengan kerupuk mi
: tetaplah baka
yonathan rahardjo/ bekasi-depok, 2004-2007
Arus Kata, 27-7-2007
SAJEN
bunga hidup merah muda
jingga, kuning
yang dikelilingi daun hijau muda
hijau tua bergandeng mesra
dalam belanga coklat dari
kayu tiada semata
teteskan rindu
yang menetes diiringi bunyi
hujan
:merintih hangat
aku di sampingmu menggoreskan
kain jilbab yang membalut hangat
tubuhnya
merindu air hujan itu hangat mengalir
dan mengalir lincah berlompatan
tiada sekedar jenaka
namun kan selalu riang
dalam harap
di atas genting
jauh
di balik awan
: datanglah hujan
tapi, jangan sering-sering
Yonathan Rahardjo/ kampung makassar, 2004
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
jingga, kuning
yang dikelilingi daun hijau muda
hijau tua bergandeng mesra
dalam belanga coklat dari
kayu tiada semata
teteskan rindu
yang menetes diiringi bunyi
hujan
:merintih hangat
aku di sampingmu menggoreskan
kain jilbab yang membalut hangat
tubuhnya
merindu air hujan itu hangat mengalir
dan mengalir lincah berlompatan
tiada sekedar jenaka
namun kan selalu riang
dalam harap
di atas genting
jauh
di balik awan
: datanglah hujan
tapi, jangan sering-sering
Yonathan Rahardjo/ kampung makassar, 2004
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
Salat Bar
kami berjajar merapat diri bukan untuk jadi sarden
kami serentak seragamkan gerak tangan dan kaki untuk menyembah Khalik
kami berjajar merapat diri bukan untuk jadi sarden
kami serantak seragamkan nasib bersolek manis
menghias bibir basah tersenyum kemayu
merayu selera segar untuk menyembah Khalik
melayani manusia menyantap kita diiring melodi mengalun
dalam remang lampu ruang
dalam tatap mata mesra
dalam senyum beradu jentik jari
membisikkan cinta
membilang ayo tambah lagi
semua untuk kita
Yonathan Rahardjo/jakarta, 2007
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
kami serentak seragamkan gerak tangan dan kaki untuk menyembah Khalik
kami berjajar merapat diri bukan untuk jadi sarden
kami serantak seragamkan nasib bersolek manis
menghias bibir basah tersenyum kemayu
merayu selera segar untuk menyembah Khalik
melayani manusia menyantap kita diiring melodi mengalun
dalam remang lampu ruang
dalam tatap mata mesra
dalam senyum beradu jentik jari
membisikkan cinta
membilang ayo tambah lagi
semua untuk kita
Yonathan Rahardjo/jakarta, 2007
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
rujak uleg
reruntuhan bangunan
berserak di setiap
lahan berdarah
mata berlinang air mata
sudah tidak tampak kini
mereka telah menyembunyikan
duka tak terperi
hari telah menyapu serakan
luka dan darah
namun luka itu tidak bakalan
sembuh dalam sehari
tuntunan kemanusiaan sangatlah dinanti
sungguh wajah-wajah luka
menunggu jiwa manusia
mengobati luka
bermakna
ini
Yonathan Rahardjo/ tebet, 2003
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
berserak di setiap
lahan berdarah
mata berlinang air mata
sudah tidak tampak kini
mereka telah menyembunyikan
duka tak terperi
hari telah menyapu serakan
luka dan darah
namun luka itu tidak bakalan
sembuh dalam sehari
tuntunan kemanusiaan sangatlah dinanti
sungguh wajah-wajah luka
menunggu jiwa manusia
mengobati luka
bermakna
ini
Yonathan Rahardjo/ tebet, 2003
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
RUJAK BEBEG
bukan karenamu ia jatuhkan buah ranum daun basah
bukan polahmu umbi batang ini bergoyang keras
aku hanya rasakan aliran darah manusia menatap
dalam tiap pori tempat mengintipnya
kau ada di situ aku tahu
aku kau awasi aku tahu
mata hatimu telah buta
kendati kulihat diriku
kau hanya melihat bayangmu
kau puaskan hasratmu hanya untuk dirimu
menangislah..
aku bisa rasakan
air matamu penuh
air mata bangga sepenuh
kau mau korban diri
jadi
:syuhada
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2003-2007
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
bukan polahmu umbi batang ini bergoyang keras
aku hanya rasakan aliran darah manusia menatap
dalam tiap pori tempat mengintipnya
kau ada di situ aku tahu
aku kau awasi aku tahu
mata hatimu telah buta
kendati kulihat diriku
kau hanya melihat bayangmu
kau puaskan hasratmu hanya untuk dirimu
menangislah..
aku bisa rasakan
air matamu penuh
air mata bangga sepenuh
kau mau korban diri
jadi
:syuhada
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2003-2007
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
Roti Selai
ku tak tega kau terdatang bulan
ku tak ingin kau gigit
sudut
bibirmu
nan basah
keluar
:darah
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2003
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
ku tak ingin kau gigit
sudut
bibirmu
nan basah
keluar
:darah
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2003
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
ROTI PERJAMUAN
dipecah sekuat tenaga
tetap kukuh lawan angkuh
usir pergi pengutuk umat!
aku di sini tuk dihancur
cukup dengan rendah hati
dan lemah lembut
ini roti perjanjian
kan jadi milik
dan slamatkan hidup
hanya bila mau
tersungkur
penghancur kan slalu kalah
bila dilawan dengan
cucur jiwa
penuh cinta
mengapa ragu?
hanya satu kau butuh
: tabur!
di hati sendiri.
Yonathan Rahardjo/ pancoran, 2004
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
tetap kukuh lawan angkuh
usir pergi pengutuk umat!
aku di sini tuk dihancur
cukup dengan rendah hati
dan lemah lembut
ini roti perjanjian
kan jadi milik
dan slamatkan hidup
hanya bila mau
tersungkur
penghancur kan slalu kalah
bila dilawan dengan
cucur jiwa
penuh cinta
mengapa ragu?
hanya satu kau butuh
: tabur!
di hati sendiri.
Yonathan Rahardjo/ pancoran, 2004
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
Roti Keju
kilat
an lampu kita
tak lagi menerangi kertas baca
an di ruang kosong berkursi di
mana kita datang dan pergi
ramaikan telinga-telinga
tak ramaikan rongga dada
bo
cor
hanya karna di depan ada
lah monster yang bacakan
kopian pada ilmu dewa
nya.
ia katakan pada telinga calon dewa
yang terbata-
bata
ketika menghadapi
suatu ironi, langkah selalu berbenturan
antara teori dan
fakta
langkah selalu berhadap-hadapan
antara modal
dan niat berbagi.
kau katakan akan memberi sorga bagi kami
saat yang sama kau rampas sorga kami
meski, janji-
janjimu selalu kau dengungkan.
bisakah kau tambal jantung kami yang telah bocor
dengan kata-
katamu sendiri yang
lupa jati diri.
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2006
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
an lampu kita
tak lagi menerangi kertas baca
an di ruang kosong berkursi di
mana kita datang dan pergi
ramaikan telinga-telinga
tak ramaikan rongga dada
bo
cor
hanya karna di depan ada
lah monster yang bacakan
kopian pada ilmu dewa
nya.
ia katakan pada telinga calon dewa
yang terbata-
bata
ketika menghadapi
suatu ironi, langkah selalu berbenturan
antara teori dan
fakta
langkah selalu berhadap-hadapan
antara modal
dan niat berbagi.
kau katakan akan memberi sorga bagi kami
saat yang sama kau rampas sorga kami
meski, janji-
janjimu selalu kau dengungkan.
bisakah kau tambal jantung kami yang telah bocor
dengan kata-
katamu sendiri yang
lupa jati diri.
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2006
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
sambal terasi
tuhan katakan padanya ia di sana adalah kata kata
bercarik ujung jari
tuhan katakan di sana ada adalah nuansa terasi aroma
cinta
tuhan katakan di sana ada burung berflamboyan
menengguk air arus atas berpajang sendu
tuhan ajak saja aku ke sana menatapnya. kutak tahu apa
ia.
Yonathan Rahardjo/ depok-ragunan, 2002-2007
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
bercarik ujung jari
tuhan katakan di sana ada adalah nuansa terasi aroma
cinta
tuhan katakan di sana ada burung berflamboyan
menengguk air arus atas berpajang sendu
tuhan ajak saja aku ke sana menatapnya. kutak tahu apa
ia.
Yonathan Rahardjo/ depok-ragunan, 2002-2007
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
ROTI BUAYA
aku juga sayang kamu
mengapa kamu pusatkan pada diri sendiri?
setelah energi demi energi kau curah saling menyayangi
antara kau dan aku
kok akhirnya kau hanya beri aku buaya
jangan keliru
ia lambang kita punya cinta setia
Yonathan Rahardjo/ bogor-jakarta, 2004-2007
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
mengapa kamu pusatkan pada diri sendiri?
setelah energi demi energi kau curah saling menyayangi
antara kau dan aku
kok akhirnya kau hanya beri aku buaya
jangan keliru
ia lambang kita punya cinta setia
Yonathan Rahardjo/ bogor-jakarta, 2004-2007
Apresiasi Sastra 28 Maret 2008
ROTI BAKAR
roti bakar
dian tak kan pergi bila ia dapat kuraba.
ia tak kan pulang bila tak kutinggalkan.
kebutuhanku adalah merasakan dian itu ada
dan tampak ada yang berubah
dari rona wajahnya.
Yonathan Rahardjo/ depok, 2003
Apresiasi Sastra 29 Maret 2008
dian tak kan pergi bila ia dapat kuraba.
ia tak kan pulang bila tak kutinggalkan.
kebutuhanku adalah merasakan dian itu ada
dan tampak ada yang berubah
dari rona wajahnya.
Yonathan Rahardjo/ depok, 2003
Apresiasi Sastra 29 Maret 2008
UPACARA BUMI
Rumpun berbicara kita tlah menjadi
semacam upacara mendarah dan menduri
dalam kepungan asap saudara-saudara
di rerimbun perhelatan yang tak juga merindu
bunga kita mengharum
bagi hidung-hidung bersumberkan tetes air sejuk itu
masih saja bunga kita adalah teka-teki yang menjamur
tak lagi enak untuk dikonsumsi
karna kita pun tak lagi menjadi tenaga
yang membantu mereka
kala dirobohkan tegak kakinya
kalau hujan petir mengabukan
tubuh sengsara
kita masih saja berkata-kata
tanpa pasti menurunkan tangan
yang masih berpelukan
di ranjang per-empu-an
seolah kitalah empu,
boleh berkata
tanpa cinta
boleh bercinta
tanpa tindakan.
sudah tumbang pohon itu
sudah banjir tanah ini.
sudah meledak tabung raksasa itu.
sudah menjadi birokrat, anak kampung kita.
kakinya enggan menjejak sawah bapaknya,
yang disekelilingnya, kita bakar
kemenyan,
mur,
dan bertabur
emas palsu.
Yonathan Rahardjo/ Planet Bumi, 2006
Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS) 08/I/2006
semacam upacara mendarah dan menduri
dalam kepungan asap saudara-saudara
di rerimbun perhelatan yang tak juga merindu
bunga kita mengharum
bagi hidung-hidung bersumberkan tetes air sejuk itu
masih saja bunga kita adalah teka-teki yang menjamur
tak lagi enak untuk dikonsumsi
karna kita pun tak lagi menjadi tenaga
yang membantu mereka
kala dirobohkan tegak kakinya
kalau hujan petir mengabukan
tubuh sengsara
kita masih saja berkata-kata
tanpa pasti menurunkan tangan
yang masih berpelukan
di ranjang per-empu-an
seolah kitalah empu,
boleh berkata
tanpa cinta
boleh bercinta
tanpa tindakan.
sudah tumbang pohon itu
sudah banjir tanah ini.
sudah meledak tabung raksasa itu.
sudah menjadi birokrat, anak kampung kita.
kakinya enggan menjejak sawah bapaknya,
yang disekelilingnya, kita bakar
kemenyan,
mur,
dan bertabur
emas palsu.
Yonathan Rahardjo/ Planet Bumi, 2006
Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS) 08/I/2006
RUWAT BUMI
kebat
sabet
angkat swara
gaungkan
di sekujur ruang
rontokkan nyawa yang tak klihatan
dengan mulut menganga
suara menari-nari di antara
kau dan aku di ruang yang sama
sampai tumbuh pohon raksasa yang telah
kita
kerdil
kan
dengan kata-kata yang tidak punya kuasa.
meski tiap hari kita ucap
meski tiap detik kita gelegakkan
pada telinga penduduk
yang tak punya telinga hati.
hanya karna,
swara-swara kita tak membuahkan
sebuah periuk yang senantiasa
menyumber
nasi
hangat.
Yonathan Rahardjo/ Bumi, 7 tahun kemudian (2006)
Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS) No. 08/I/2006
sabet
angkat swara
gaungkan
di sekujur ruang
rontokkan nyawa yang tak klihatan
dengan mulut menganga
suara menari-nari di antara
kau dan aku di ruang yang sama
sampai tumbuh pohon raksasa yang telah
kita
kerdil
kan
dengan kata-kata yang tidak punya kuasa.
meski tiap hari kita ucap
meski tiap detik kita gelegakkan
pada telinga penduduk
yang tak punya telinga hati.
hanya karna,
swara-swara kita tak membuahkan
sebuah periuk yang senantiasa
menyumber
nasi
hangat.
Yonathan Rahardjo/ Bumi, 7 tahun kemudian (2006)
Buletin Kabar untuk Sahabat (KauS) No. 08/I/2006
kacang bali
walau kami seolah terdiam,
dan bisu di mata kalian.
angin masih berbisik,
kami masih cuma terbisik,
tapi tetap menari,
dan membisu dalam tari.
kita kan menari!
kita kan menari!
tak ada beban dan kejahatan yang bisa menahan kaki hati kita untuk selalu menari.
esok masih milik kita,
hari ini masih punya kita,
kemarin masih hak kita,
meski dengan tarian itu semua menjadi milik bersama. bersemilah,
bersemilah,
bersemilah!
tarian hati
dengan darah
:membutir bulat
kidung sembah
Yonathan Rahardjo/ depok-jakarta, 2003-2007
Batam Pos, 17 Februari 2008
dan bisu di mata kalian.
angin masih berbisik,
kami masih cuma terbisik,
tapi tetap menari,
dan membisu dalam tari.
kita kan menari!
kita kan menari!
tak ada beban dan kejahatan yang bisa menahan kaki hati kita untuk selalu menari.
esok masih milik kita,
hari ini masih punya kita,
kemarin masih hak kita,
meski dengan tarian itu semua menjadi milik bersama. bersemilah,
bersemilah,
bersemilah!
tarian hati
dengan darah
:membutir bulat
kidung sembah
Yonathan Rahardjo/ depok-jakarta, 2003-2007
Batam Pos, 17 Februari 2008
kembang goyang
bergetar yang patut
bergerak yang akan
bergerak yang mesti
berirama mengikuti
irama-irama hati
ada sesuatu yang dicari
akankah tumpah
hanya karna
satu telikung mata
jatuh ke dada
jatuh ke perut
jatuh ke kelamin
pergerakan jadi sia
pergulatan jadi lepas
persemaian menumpu
menjerit dan mendelik
dan terkapar
tidur dalam puas
ada yang lepas
ada yang bebas
dalam sejurus nyali
ada pula yang kandas
tinggal pilih butuh apa
:tidur atau nyala
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2004
Batam Pos, 17 Februari 2008
bergerak yang akan
bergerak yang mesti
berirama mengikuti
irama-irama hati
ada sesuatu yang dicari
akankah tumpah
hanya karna
satu telikung mata
jatuh ke dada
jatuh ke perut
jatuh ke kelamin
pergerakan jadi sia
pergulatan jadi lepas
persemaian menumpu
menjerit dan mendelik
dan terkapar
tidur dalam puas
ada yang lepas
ada yang bebas
dalam sejurus nyali
ada pula yang kandas
tinggal pilih butuh apa
:tidur atau nyala
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2004
Batam Pos, 17 Februari 2008
jus buah
tumpah air merah
tertumpah dari buah jantungku
tumpah menggenangi
tanah tumpah darahku
tertumpahlah
darah merahku
kau kata
darah siapa yang lebih merah?
darah siapa lebih tertumpah?
ngomong enak saja!
belum kau rasakan kulit terluka
belum kau rasakan
sirnanya
nyawa
belajar dari hal sama
kami tetap suka
meski ditumpah
diperas
diputar
dan dilumat
kami tetap suka
agar kau menjadi segar
agar kau menjelma sentosa
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2005-2007
Batam Pos, 17 Februari 2008
tertumpah dari buah jantungku
tumpah menggenangi
tanah tumpah darahku
tertumpahlah
darah merahku
kau kata
darah siapa yang lebih merah?
darah siapa lebih tertumpah?
ngomong enak saja!
belum kau rasakan kulit terluka
belum kau rasakan
sirnanya
nyawa
belajar dari hal sama
kami tetap suka
meski ditumpah
diperas
diputar
dan dilumat
kami tetap suka
agar kau menjadi segar
agar kau menjelma sentosa
Yonathan Rahardjo/ jakarta, 2005-2007
Batam Pos, 17 Februari 2008
kacang campur
kacang garam
kacang kuning
kacang hijau
kacang tak kulit
kacang tepung
meregu kuning
udang kuning
meregu merah
udang merah
cabe
garam
gula
perisa
minyak sawit
dalam satu plastik kemas
memangnya bangsaku tidak bisa
bikin?
kalau bisa,
mengapa harus impor dari
negeri tetangga?
dasar pemalas!
Yonathan Rahardjo/ cimanggis, 2007
Batam Pos, 17 Februari 2008
kacang kuning
kacang hijau
kacang tak kulit
kacang tepung
meregu kuning
udang kuning
meregu merah
udang merah
cabe
garam
gula
perisa
minyak sawit
dalam satu plastik kemas
memangnya bangsaku tidak bisa
bikin?
kalau bisa,
mengapa harus impor dari
negeri tetangga?
dasar pemalas!
Yonathan Rahardjo/ cimanggis, 2007
Batam Pos, 17 Februari 2008
kerak telor
semua masa laluku telah mengerak
semua perbuatanku telah berbuahkan teriak
api gemeretak menjilat-jilat
ku tak mampu lagi sekedar kata apalagi teriak
bahkan digoyang pun aku diam
bahkan dibalik pun aku lekat
pada seluruh alat penghukuman
tanpa mampu melawan
hanya kepasrahan yang hiburkan
ia tak akan diam
dalam sekejap pun
aku akan dipulihkan
dan terhidang
dalam persembahan terbaik
dari semua yang kupunya
dari semua yang kumiliki
tak ada kata tidak kini
milikku hanyalah untuknya
sesungguhnya aku ini miliknya
hanya ia yang mampu
lepaskanku
dari kerak neraka panas ini
Yonathan Rahardjo/ ragunan, 2007
Batam Pos, 17 Februari 2008
semua perbuatanku telah berbuahkan teriak
api gemeretak menjilat-jilat
ku tak mampu lagi sekedar kata apalagi teriak
bahkan digoyang pun aku diam
bahkan dibalik pun aku lekat
pada seluruh alat penghukuman
tanpa mampu melawan
hanya kepasrahan yang hiburkan
ia tak akan diam
dalam sekejap pun
aku akan dipulihkan
dan terhidang
dalam persembahan terbaik
dari semua yang kupunya
dari semua yang kumiliki
tak ada kata tidak kini
milikku hanyalah untuknya
sesungguhnya aku ini miliknya
hanya ia yang mampu
lepaskanku
dari kerak neraka panas ini
Yonathan Rahardjo/ ragunan, 2007
Batam Pos, 17 Februari 2008
siomay
Sini sini sini
langkah menjauhmu hanya berbuah lapar
nikmati hidangan tersedia ini
di pinggir perjalanan kau kan rasakan
ufuk masih jauh nak
ufuk juga sudah jauh
tubuhmu masih di terik siang
pemilik hari masih membakar ubun-ubun
boleh kau singgah di pemberhentian payung hitam
tapi tetap nikmati yang dihidang nak
tepung daging pare daun kol tahu telur dan wortel cacah
kacang tanah selalu serta
jangan kau ragukan tenggorokan kan terbakar nak
di antara jelaga saluran pencernaan masih ada air pembasuh segar nak
siomaymu hanya penjaga raga nak
ia masih punya teman banyak
jalanmu hanya penjaga konstanta nak
ia pun punya skala skala
Yonathan Rahardjo/ depok 24603
Antologi Puisi Bisikan Kata Teriakan Kota, Dewan Kesenian Jakarta 2003
langkah menjauhmu hanya berbuah lapar
nikmati hidangan tersedia ini
di pinggir perjalanan kau kan rasakan
ufuk masih jauh nak
ufuk juga sudah jauh
tubuhmu masih di terik siang
pemilik hari masih membakar ubun-ubun
boleh kau singgah di pemberhentian payung hitam
tapi tetap nikmati yang dihidang nak
tepung daging pare daun kol tahu telur dan wortel cacah
kacang tanah selalu serta
jangan kau ragukan tenggorokan kan terbakar nak
di antara jelaga saluran pencernaan masih ada air pembasuh segar nak
siomaymu hanya penjaga raga nak
ia masih punya teman banyak
jalanmu hanya penjaga konstanta nak
ia pun punya skala skala
Yonathan Rahardjo/ depok 24603
Antologi Puisi Bisikan Kata Teriakan Kota, Dewan Kesenian Jakarta 2003
arsik ikan mas
pada huruf yang terpelanting dari
sisik-sisik terkelupas
suatu masa tak pernah terselami oleh hati berlidah
digurih kemiri-kah?
dibakar cabe, kemiri, bawang merah-putih-kah - dibasah kunyit, bawang lokio, biji
andaliman-kah - dihasrat rindu dan cinta-kah?
didorong tanpa henti tak pernah kembali
mencari nas
jaman emas
sampai nyawa menjauh
sesingkat nasib
ikan mas
ya dipercik jahe jeruk nipis ya digaram nan tertolak samuderai sungai
agar sanggup memaknai entah sampai kapan agar hati punya nyali
kepala terus mendenting tali
Yonathan Rahardjo/ depok-bojonegoro, 2006-2007
Jurnal Nasional Minggu II/ April 2007
sisik-sisik terkelupas
suatu masa tak pernah terselami oleh hati berlidah
digurih kemiri-kah?
dibakar cabe, kemiri, bawang merah-putih-kah - dibasah kunyit, bawang lokio, biji
andaliman-kah - dihasrat rindu dan cinta-kah?
didorong tanpa henti tak pernah kembali
mencari nas
jaman emas
sampai nyawa menjauh
sesingkat nasib
ikan mas
ya dipercik jahe jeruk nipis ya digaram nan tertolak samuderai sungai
agar sanggup memaknai entah sampai kapan agar hati punya nyali
kepala terus mendenting tali
Yonathan Rahardjo/ depok-bojonegoro, 2006-2007
Jurnal Nasional Minggu II/ April 2007
apem
mari kembali mengikuti pesta masa kecil
apem-apem
dihidang hangat
putih tepung menggelembung
berpantat coklat gosong cantik tepat
merambat uap memijat lidah mencecap dan mengucap
aku ingin lagi
apem
ini
membuka hati terang terang terang
kita ini negeri siang bergenerasi mabuk cemerlang
tak rasakan hari telah malam bergenerasi mabuk cemerlang
tak rasakan hari telah malam bergenerasi ditipu pembawa seram
bergunung terigu kita impor - bergunung tepung gandum kita gelontor - bergunung beras kita ketanggor - bergunung ubi dan singkong kita terpopor
menu sehari-harilah yang bau impor
dikebirilah rakyat untuk membayar
beranak wajah-wajah resahlah wabah sejarah
sedang tanah sendiri menolak bunting dan beranak
gandum yang membelantara
mendominasi jajanan dan makanan yang ada
sedang lidah tlah mendewasa menua telanjur amat mencinta mereka si penyingkir
ubi, singkong dan beras
tanah sendiri
nyawa kedaulatan pangan atas diri sendiri
sebenarnya, apa yang tlah terjadi?
pesta apem
dari tepung beras
terlezat
masa kecil
ingatkan tanya apa yang sebenarnya terjadi?
Yonathan Rahardjo/ jakarta-bojonegoro, 2007
Jurnal Nasional Minggu II/April 2007
apem-apem
dihidang hangat
putih tepung menggelembung
berpantat coklat gosong cantik tepat
merambat uap memijat lidah mencecap dan mengucap
aku ingin lagi
apem
ini
membuka hati terang terang terang
kita ini negeri siang bergenerasi mabuk cemerlang
tak rasakan hari telah malam bergenerasi mabuk cemerlang
tak rasakan hari telah malam bergenerasi ditipu pembawa seram
bergunung terigu kita impor - bergunung tepung gandum kita gelontor - bergunung beras kita ketanggor - bergunung ubi dan singkong kita terpopor
menu sehari-harilah yang bau impor
dikebirilah rakyat untuk membayar
beranak wajah-wajah resahlah wabah sejarah
sedang tanah sendiri menolak bunting dan beranak
gandum yang membelantara
mendominasi jajanan dan makanan yang ada
sedang lidah tlah mendewasa menua telanjur amat mencinta mereka si penyingkir
ubi, singkong dan beras
tanah sendiri
nyawa kedaulatan pangan atas diri sendiri
sebenarnya, apa yang tlah terjadi?
pesta apem
dari tepung beras
terlezat
masa kecil
ingatkan tanya apa yang sebenarnya terjadi?
Yonathan Rahardjo/ jakarta-bojonegoro, 2007
Jurnal Nasional Minggu II/April 2007
gado-gado
mari merajut hari nak..
daun singkong daun pepaya buah pare
kacang tanah bawang putih cabe merah cabe hijau
menyusuri lembut dini Nak
buka mata lihat cuaca Nak
di tapak tangan piring menganga Nak
tadahkan panorama persahabatan dengan rindu terdera
mari buka hati menatap hari nak
Malammu telah lalu berlumur lumpur kasuwargan
mandikan dengan hujan kristal gado-gado nak
harimu tak jauh dari situ dan pengulangan itu
hari sunyi dalam hiruk
cipta pikuk dalam sendiri
Yonathan Rahardjo/ depok 24603
Bina Desa Oktober-Desember 2006
daun singkong daun pepaya buah pare
kacang tanah bawang putih cabe merah cabe hijau
menyusuri lembut dini Nak
buka mata lihat cuaca Nak
di tapak tangan piring menganga Nak
tadahkan panorama persahabatan dengan rindu terdera
mari buka hati menatap hari nak
Malammu telah lalu berlumur lumpur kasuwargan
mandikan dengan hujan kristal gado-gado nak
harimu tak jauh dari situ dan pengulangan itu
hari sunyi dalam hiruk
cipta pikuk dalam sendiri
Yonathan Rahardjo/ depok 24603
Bina Desa Oktober-Desember 2006
pecel lele
bersemailah dalam altar luas ini kawan
bunga-bunga liar memang bisa memagut tunas kakimu yang lembut
air ceramah coklat dari sawah boleh jadi temannya
berlumur air bau tanah pun biasa
tapak kaki melintasi altar ini membawa listrik listrik sendiri dalam
isyarat
hari kawan
tak perlu menahan
hanya pejamkan kedua kelopak matamu
itu cukup
dalam terang sekitar hanya kembali ke gelap yang lebih luas di dalam
kau kan
rasakan
undangan letih sebatas percengkeramaan hari
pesta lele sekedar mengisi hari
pecel pelumurnya sekadar bunga kehidupan
hasrat tertumpah dalam pedas panas gurih renyah berwangi daun
kemangi dan
segar mentimun
cuma sepenggal penghampiran
Yonathan Rahardjo/ depok, 2003
Antologi Puisi Bisikan Kata Teriakan Kota, Dewan Kesenian Jakarta 2003
bunga-bunga liar memang bisa memagut tunas kakimu yang lembut
air ceramah coklat dari sawah boleh jadi temannya
berlumur air bau tanah pun biasa
tapak kaki melintasi altar ini membawa listrik listrik sendiri dalam
isyarat
hari kawan
tak perlu menahan
hanya pejamkan kedua kelopak matamu
itu cukup
dalam terang sekitar hanya kembali ke gelap yang lebih luas di dalam
kau kan
rasakan
undangan letih sebatas percengkeramaan hari
pesta lele sekedar mengisi hari
pecel pelumurnya sekadar bunga kehidupan
hasrat tertumpah dalam pedas panas gurih renyah berwangi daun
kemangi dan
segar mentimun
cuma sepenggal penghampiran
Yonathan Rahardjo/ depok, 2003
Antologi Puisi Bisikan Kata Teriakan Kota, Dewan Kesenian Jakarta 2003
batagor
punyakah kamu teman peranakan Batak dan Bogor
kukira dialah empunya dunia ini
dulu kulumuri kakiku dengan debu antara pucuk gunung dengan lembah datar tanah pantai
sengatan siang membakar lidahku menarik asam perutku berseteru dengan alam
hanya semilir hawa lapangan tengah kota ditemani rindang pohon yang memberiku isyarat hari tetap ramah
perhentian menjadi tetap terarah ketika datang menghampiri penatku sejumlah teka-teki
apakah ia yang punya pusat-pusat peradaban?
mungkin ya walau hanya berbalut kesederhanaan penampilan
ditarik sepeda tua wujudnya tetap merangsang
penggorengan menawarkan penampilannya elok di mata
apakah karna ku tak pernah mengenal dia sehingga ku jatuh cinta
jawabnya ternyata memang iya karena begitu ku tiba di ibukota yang namanya
bakso tahu goreng adalah jajanan biasa sangat biasa yang tersedia di setiap
ujung jalan ku lewat entah ke berapa kali hingga pagi ini
ternyata cintaku menghantarku lebih mengenal dia apa adanya
batagor tak sekedar penguasa dunia
tapi ia maharaja fakta
Yonathan Rahardjo/ Depok 24603
Bina Desa Oktober-Desember 2006
kukira dialah empunya dunia ini
dulu kulumuri kakiku dengan debu antara pucuk gunung dengan lembah datar tanah pantai
sengatan siang membakar lidahku menarik asam perutku berseteru dengan alam
hanya semilir hawa lapangan tengah kota ditemani rindang pohon yang memberiku isyarat hari tetap ramah
perhentian menjadi tetap terarah ketika datang menghampiri penatku sejumlah teka-teki
apakah ia yang punya pusat-pusat peradaban?
mungkin ya walau hanya berbalut kesederhanaan penampilan
ditarik sepeda tua wujudnya tetap merangsang
penggorengan menawarkan penampilannya elok di mata
apakah karna ku tak pernah mengenal dia sehingga ku jatuh cinta
jawabnya ternyata memang iya karena begitu ku tiba di ibukota yang namanya
bakso tahu goreng adalah jajanan biasa sangat biasa yang tersedia di setiap
ujung jalan ku lewat entah ke berapa kali hingga pagi ini
ternyata cintaku menghantarku lebih mengenal dia apa adanya
batagor tak sekedar penguasa dunia
tapi ia maharaja fakta
Yonathan Rahardjo/ Depok 24603
Bina Desa Oktober-Desember 2006
bukan serabi Bandung
terus terang aku heran waktu pertama kali ada serabi jadi komoditi mengembang
dikerumuni konsumen konsumen berselera kapal terbang
serabi nangka serabi keju serabi pisang serabi coklat serabi kismis serabi
kelapa seraba apa serabi apa serabi apa serabi apa
mobil mobil jadi penjaga setia mereka manakala duduk menghadap meja penuh beraneka warna serabi
nyonya seksi tuan jumawa melahap bertumpuk serabi berkelas
komat-kamit mulut gigi mengunyahnya jadi sahabat bunyi kecipak lidah ludah dan sendawa bir
dunia jadi miliknya
meski dunia serabi tetap bisa jadi simbol gengsi
dimodali pemilik pesawat terbang yang sudah kenyang spageti
perguratan jalan jadi saksi si pemilik daya cipta serabi yang semula masih
terseok tertatih terpuruk kerikil jalan desa terpencil
ia nenek tua yang duduk bersimpuh di pojok gang kumuh
serabinya cuma satu jenis
serabi berlumur santan kelapa
pagi datang ia membeber peralatan yang digendong dengan kain tua
pembeli datang serabi habis ia pun pulang
hari panjang masih lengang
harapanku hatinya tetap lapang
ia memang jualan serabi bukan untuk dimakan sendiri
tapi menghidangkan serabi buat siapa saja yang sedia beli
kalau pun nggak ada penikmatnya
ia tetap bikin serabi
walau merek serabinya masih serabi desa tua bukan serabi Bandung yang maju nan bergengsi
masih ada tetangga sesama nasib yang mau mencicipi
Yonathan Rahardjo/ depok 24603
Jurnal Nasional Minggu 12-11-2006
dikerumuni konsumen konsumen berselera kapal terbang
serabi nangka serabi keju serabi pisang serabi coklat serabi kismis serabi
kelapa seraba apa serabi apa serabi apa serabi apa
mobil mobil jadi penjaga setia mereka manakala duduk menghadap meja penuh beraneka warna serabi
nyonya seksi tuan jumawa melahap bertumpuk serabi berkelas
komat-kamit mulut gigi mengunyahnya jadi sahabat bunyi kecipak lidah ludah dan sendawa bir
dunia jadi miliknya
meski dunia serabi tetap bisa jadi simbol gengsi
dimodali pemilik pesawat terbang yang sudah kenyang spageti
perguratan jalan jadi saksi si pemilik daya cipta serabi yang semula masih
terseok tertatih terpuruk kerikil jalan desa terpencil
ia nenek tua yang duduk bersimpuh di pojok gang kumuh
serabinya cuma satu jenis
serabi berlumur santan kelapa
pagi datang ia membeber peralatan yang digendong dengan kain tua
pembeli datang serabi habis ia pun pulang
hari panjang masih lengang
harapanku hatinya tetap lapang
ia memang jualan serabi bukan untuk dimakan sendiri
tapi menghidangkan serabi buat siapa saja yang sedia beli
kalau pun nggak ada penikmatnya
ia tetap bikin serabi
walau merek serabinya masih serabi desa tua bukan serabi Bandung yang maju nan bergengsi
masih ada tetangga sesama nasib yang mau mencicipi
Yonathan Rahardjo/ depok 24603
Jurnal Nasional Minggu 12-11-2006
DI SITU
Di situ...
Balita berselonjor kaki, tubuh tanpa kain penutup
di balai-balai bambu beratap rumbai daun kelapa
Bocah lelaki kecil lincah berlari bermain bola
di hamparan pasir putih nan cemerlang
Gadis pemudi, pemuda remaja berjemur
juga menceburkan tubuh terbakar matahari
di dingin air segar
Nelayan mengayuh perahu menjauh
tuk memikat makhluk terjerat jala kail
di hamparan riak air
Beraneka jenis, bentuk, warna-warni
makhluk itu menyelam, melayang, mengapung
bebas lepas
Sayang...
Manusia serakah memasang pukat harimau
menabur racun, merampas semua kekayaan tak terbatas
Bom-bom diledakkan,
Meremukkan terumbu karang
Perompak tertawa sampai perut terguncang
berhasil menyandera awak kapal
bertekuk lutut di ujung pedang, bedil, dan mata mendelik
Pemilik harta mengikat leher nelayan dengan
perjanjian hutang piutang berbunga besar dengan
alasan supaya nelayan mampu merakit perahu, membeli
motor
Pejabat sibuk merekayasa bagaimana pulau-pulau
kecil tak perpenghuni pindah status pemakaian ke tangan
panas berlumpur siasat mendongkrak devisa pembayar utang
negara
Di situ...
si nelayan miskin bertaruh hidup
si tengkulak menabur janji menuai sekarat nelayan
si pedagang berpesta uang ikan hias, terumbu karang
si pejabat mengeruk isi berdalih kesejahteraan
Di situ...
di pantai
si pantai sendiri makin merana kering
Terbakar terik panas surya siang
menggigil beku berbalut dingin hawa malam
terkikis gelegak samudera perkasa karna mangrovenya
telah tiada dan liat pantai menjadi kering rapuh berdebu
hingga si balita tak berbaju dan celana yang mestinya
merasakan sejuk semilir angin sepoi
justru malah keblingsatan kepanasan.
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 24 Juli 2000
Kabar Bumi Edisi 19/ Juni-Agustus 2000
Balita berselonjor kaki, tubuh tanpa kain penutup
di balai-balai bambu beratap rumbai daun kelapa
Bocah lelaki kecil lincah berlari bermain bola
di hamparan pasir putih nan cemerlang
Gadis pemudi, pemuda remaja berjemur
juga menceburkan tubuh terbakar matahari
di dingin air segar
Nelayan mengayuh perahu menjauh
tuk memikat makhluk terjerat jala kail
di hamparan riak air
Beraneka jenis, bentuk, warna-warni
makhluk itu menyelam, melayang, mengapung
bebas lepas
Sayang...
Manusia serakah memasang pukat harimau
menabur racun, merampas semua kekayaan tak terbatas
Bom-bom diledakkan,
Meremukkan terumbu karang
Perompak tertawa sampai perut terguncang
berhasil menyandera awak kapal
bertekuk lutut di ujung pedang, bedil, dan mata mendelik
Pemilik harta mengikat leher nelayan dengan
perjanjian hutang piutang berbunga besar dengan
alasan supaya nelayan mampu merakit perahu, membeli
motor
Pejabat sibuk merekayasa bagaimana pulau-pulau
kecil tak perpenghuni pindah status pemakaian ke tangan
panas berlumpur siasat mendongkrak devisa pembayar utang
negara
Di situ...
si nelayan miskin bertaruh hidup
si tengkulak menabur janji menuai sekarat nelayan
si pedagang berpesta uang ikan hias, terumbu karang
si pejabat mengeruk isi berdalih kesejahteraan
Di situ...
di pantai
si pantai sendiri makin merana kering
Terbakar terik panas surya siang
menggigil beku berbalut dingin hawa malam
terkikis gelegak samudera perkasa karna mangrovenya
telah tiada dan liat pantai menjadi kering rapuh berdebu
hingga si balita tak berbaju dan celana yang mestinya
merasakan sejuk semilir angin sepoi
justru malah keblingsatan kepanasan.
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 24 Juli 2000
Kabar Bumi Edisi 19/ Juni-Agustus 2000
PUISI UNTUK PRAM
Sepanjang hidup ku tidak
pernah tulis puisi
prosa prosa dan prosa yang kutulis
Selama hayat ku tak pernah gunakan
kecengenganku
yang malah tumbuh bila kutulis
puisi
yang kuharap bukan puisi yang kutulis
yang jatuhkanku dari
keras hati
setegar gunung karang
sampai akhir
kuhisap tembakau tanpa api
kutulis jiwa tanpa lemah
yang ada pada puisi
namun itu untuk aku
kalau untukmu
tulislah,
cengeng puisi
meski kau ikuti aku
toh kamu
tetaplah kamu
kau bunga
aku karang
kita bisa jadikan bunga karang
karang bunga
pilihanku.
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 12-5-2006
Majalah Aksara Edisi 07 Agustus-September 2006
pernah tulis puisi
prosa prosa dan prosa yang kutulis
Selama hayat ku tak pernah gunakan
kecengenganku
yang malah tumbuh bila kutulis
puisi
yang kuharap bukan puisi yang kutulis
yang jatuhkanku dari
keras hati
setegar gunung karang
sampai akhir
kuhisap tembakau tanpa api
kutulis jiwa tanpa lemah
yang ada pada puisi
namun itu untuk aku
kalau untukmu
tulislah,
cengeng puisi
meski kau ikuti aku
toh kamu
tetaplah kamu
kau bunga
aku karang
kita bisa jadikan bunga karang
karang bunga
pilihanku.
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 12-5-2006
Majalah Aksara Edisi 07 Agustus-September 2006
NERACA
Andai kuputar waktu
Tak kujumpa rembulan-rembulan
Sedalam inikah
Bahkan
Seberapa dalamkah
Sesungguhnya
Kasihku padamu
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, Januari-Pebruari 2005
Majalah Infovet Edisi 128 Maret 2005
Tak kujumpa rembulan-rembulan
Sedalam inikah
Bahkan
Seberapa dalamkah
Sesungguhnya
Kasihku padamu
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, Januari-Pebruari 2005
Majalah Infovet Edisi 128 Maret 2005
FLU BURUNG
Ciap-ciap anak-anak kami bernafaskan gairah
lari-lari anak-anak kami berselimutkan energi ungu
kami bahagia lho
sungguh
meski,
kokok suami-suami kami tidak pernah menjadi milik kami
bahkan kotek induk-induk kami tidak pernah kami dengar
kami sudah dipisah sedari induk-induk kami sudah menggulir telur dari
mana kami menetas
kami sebatang kara sedari lahir
tapi kami bertelur
ribuan
ribuan
ribuan
untuk lelaki
untuk perempuan
untuk anak
untuk bangsa lelaki dan perempuan
untuk bangsa manusia-manusia
untuk peradaban
untuk otak cerdas
hanya dengan kuning dan putih kami
hanya dengan telur kosong tanpa generasi baru kami.
kami berfungsi sebegitu saja
berhari-hari
berminggu-minggu
berbulan-bulan
bertahun-tahun
tanpa pernah mendengar tangis anak-anak kami
yang bisa kami dengar hanyalah
tangis-tangis kami
meski itu hanya sekejap sekali
dan kami pergi
tak kembali
tanpa pernah bisa berbisik dan berteriak di telinga dokter hewan tuli
itu virus AI!
bukan virus tetelo yang kau taburkan pada tubuh-tubuh kami
menambah bangsa kami makin
mati.
di mana kau sisakan bahagia kami?
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, Januari 2004
Buku Avian Influenza: Pencegahan, Pengendalian, Dan Pemberantasannya, 2004
lari-lari anak-anak kami berselimutkan energi ungu
kami bahagia lho
sungguh
meski,
kokok suami-suami kami tidak pernah menjadi milik kami
bahkan kotek induk-induk kami tidak pernah kami dengar
kami sudah dipisah sedari induk-induk kami sudah menggulir telur dari
mana kami menetas
kami sebatang kara sedari lahir
tapi kami bertelur
ribuan
ribuan
ribuan
untuk lelaki
untuk perempuan
untuk anak
untuk bangsa lelaki dan perempuan
untuk bangsa manusia-manusia
untuk peradaban
untuk otak cerdas
hanya dengan kuning dan putih kami
hanya dengan telur kosong tanpa generasi baru kami.
kami berfungsi sebegitu saja
berhari-hari
berminggu-minggu
berbulan-bulan
bertahun-tahun
tanpa pernah mendengar tangis anak-anak kami
yang bisa kami dengar hanyalah
tangis-tangis kami
meski itu hanya sekejap sekali
dan kami pergi
tak kembali
tanpa pernah bisa berbisik dan berteriak di telinga dokter hewan tuli
itu virus AI!
bukan virus tetelo yang kau taburkan pada tubuh-tubuh kami
menambah bangsa kami makin
mati.
di mana kau sisakan bahagia kami?
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, Januari 2004
Buku Avian Influenza: Pencegahan, Pengendalian, Dan Pemberantasannya, 2004
UNTUK PARA PEMENANG
Adam Air bangkainya masih terus dicari.
Senopati separuh penumpangnya masih belum ditemui.
Bengawan bangkainya masih di jurang makan hati.
Lapindo Sidoarjo lumpur panas masih terus merajai
Poso bara tentara, polisi dan rakyat masih mengasapi
Banyuwangi bupati versus rakyat masih dicoba dimoderasi.
Langsung atau tidak mempengaruhi kerja kaum peternakan dan kesehatan hewan.
Dalam kerja.
Dalam karya.
Mungkin di antara korban raibnya Adam Air adalah keluarga kaum ini.
Mungkin di antara korban Senopati adalah sanak kaum ini.
Mungkin di antara korban Bengawan adalah famili kaum ini.
Mungkin di antara semua musibah,
kaum peternakan dan kesehatan hewan punya derita
tubuh, jiwa dan hati.
Kita pun berduka.
Kita pun tunduk kepala.
Kita pun bela sungkawa.
Dan Kita pun makin berduka.
Kala Flu Burung
karena dianggap mematikan orang
penumpasan unggas masih terus mendera.
Mengikuti kasus demi kasus yang telah membuat luka nganga.
Semua telah terjadi.
Semua telah makan hati.
Semua telah membuat luka makin nganga.
Apa boleh buat.
Semua telah terjadi.
Dan dalam hidup kita mesti bangkit.
Dan selalu bangkit lagi.
Bukankah masih ada harap dalam pekat.
Bukankah masih ada asa dalam derita.
Bukankah masih ada iman dalam ketakutan.
Bukan saatnya saling salahkan.
Bukan saatnya saling banggakan.
Ini adalah saatnya saling bergandeng tangan.
Ayo kita tegakkan kepala.
Ayo kita bangkitkan jiwa.
Segala penyakit pasti ada obatnya.
Segala derita pasti ada maknanya.
Segala lara pasti ada pelipurnya.
Bukankah pengalaman serupa pada masa silam kita sudah punya.
Bukankah penyakit-penyakit yang dulu tak dikenal,
kini kita telah punya penangkalnya.
Bukankah suka duka masa lampau kita telah atasi bersama.
Pasti sekarang juga,
kita tak akan terus kecewa.
Pandang ke depan.
Maju dengan gagah.
Gunakan segenap perlengkapan senjata.
Yakin dan Imani.
Kitalah pemenang permasalahan masalah ini.
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, Januari 2007
Majalah Infovet Edisi 151 Pebruari 2007
Senopati separuh penumpangnya masih belum ditemui.
Bengawan bangkainya masih di jurang makan hati.
Lapindo Sidoarjo lumpur panas masih terus merajai
Poso bara tentara, polisi dan rakyat masih mengasapi
Banyuwangi bupati versus rakyat masih dicoba dimoderasi.
Langsung atau tidak mempengaruhi kerja kaum peternakan dan kesehatan hewan.
Dalam kerja.
Dalam karya.
Mungkin di antara korban raibnya Adam Air adalah keluarga kaum ini.
Mungkin di antara korban Senopati adalah sanak kaum ini.
Mungkin di antara korban Bengawan adalah famili kaum ini.
Mungkin di antara semua musibah,
kaum peternakan dan kesehatan hewan punya derita
tubuh, jiwa dan hati.
Kita pun berduka.
Kita pun tunduk kepala.
Kita pun bela sungkawa.
Dan Kita pun makin berduka.
Kala Flu Burung
karena dianggap mematikan orang
penumpasan unggas masih terus mendera.
Mengikuti kasus demi kasus yang telah membuat luka nganga.
Semua telah terjadi.
Semua telah makan hati.
Semua telah membuat luka makin nganga.
Apa boleh buat.
Semua telah terjadi.
Dan dalam hidup kita mesti bangkit.
Dan selalu bangkit lagi.
Bukankah masih ada harap dalam pekat.
Bukankah masih ada asa dalam derita.
Bukankah masih ada iman dalam ketakutan.
Bukan saatnya saling salahkan.
Bukan saatnya saling banggakan.
Ini adalah saatnya saling bergandeng tangan.
Ayo kita tegakkan kepala.
Ayo kita bangkitkan jiwa.
Segala penyakit pasti ada obatnya.
Segala derita pasti ada maknanya.
Segala lara pasti ada pelipurnya.
Bukankah pengalaman serupa pada masa silam kita sudah punya.
Bukankah penyakit-penyakit yang dulu tak dikenal,
kini kita telah punya penangkalnya.
Bukankah suka duka masa lampau kita telah atasi bersama.
Pasti sekarang juga,
kita tak akan terus kecewa.
Pandang ke depan.
Maju dengan gagah.
Gunakan segenap perlengkapan senjata.
Yakin dan Imani.
Kitalah pemenang permasalahan masalah ini.
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, Januari 2007
Majalah Infovet Edisi 151 Pebruari 2007
Bercinta Mencegah Hutan Gundul
Apa yang suami perlakukan pada istri
dan sebaliknya
akan menentukan kehidupan rumah tangga
laksana di surga
atau di neraka
Apa yang kita perlakukan pada lingkungan
di situlah jawab dari semua problema kita
Ia, lingkungan..
akan memberi kenyamanan
ataukah justru ancaman
Mau menciptakan lingkungan laksana surgakah?
Atau malah neraka?
Tinggal pikiran,
hati,
dan tangan ini
mau secara praktis menyingkirkan AC freon
atau tidak.
Ataukah masih memakai tissue kertas
pembawa bencana bagi hutan
ataukah lebih memilih
sapu tangan kain.
Masih ingat syair lagu
'SAPU TANGANKU WARNA MERAH JAMBU?"
Berikan pada kekasihmu
sapu tangan kain macam ini.
Bukan sapu tangan tissue kertas.
Sekalipun kekasihmu meneteskan air mata..
Atau dia merengek manja
membutuhkan belaian yang menghiburnya
dan ia begitu bahagia sampai air matanya mengembang..
Jangan usap dengan tissue itu..
Jangan usap sekalipun lembut kertas itu..
Usap dia dengan sapu tangan cintamu
entah itu warna merah jambu.. atau biru, ataupun ungu..
Usap ia dengan sapu kain tanganmu
Mengapa?
Mengapa harus begitu?
Sebab dengan cara itu..
Pada saat bercintapun..
Kamu..
Anda..sudah mengurangi penebangan pohon
Mengurangi
penggundulan hutan
mengurangi anak cucu semakin berwajah kuyu
di kehidupan yang penuh semu
karena tanah pijakannya tak lagi seperti dulu. ***
Yonathan Rahardjo, 1999
Berita Bumi/ Konphalindo, 2000
dan sebaliknya
akan menentukan kehidupan rumah tangga
laksana di surga
atau di neraka
Apa yang kita perlakukan pada lingkungan
di situlah jawab dari semua problema kita
Ia, lingkungan..
akan memberi kenyamanan
ataukah justru ancaman
Mau menciptakan lingkungan laksana surgakah?
Atau malah neraka?
Tinggal pikiran,
hati,
dan tangan ini
mau secara praktis menyingkirkan AC freon
atau tidak.
Ataukah masih memakai tissue kertas
pembawa bencana bagi hutan
ataukah lebih memilih
sapu tangan kain.
Masih ingat syair lagu
'SAPU TANGANKU WARNA MERAH JAMBU?"
Berikan pada kekasihmu
sapu tangan kain macam ini.
Bukan sapu tangan tissue kertas.
Sekalipun kekasihmu meneteskan air mata..
Atau dia merengek manja
membutuhkan belaian yang menghiburnya
dan ia begitu bahagia sampai air matanya mengembang..
Jangan usap dengan tissue itu..
Jangan usap sekalipun lembut kertas itu..
Usap dia dengan sapu tangan cintamu
entah itu warna merah jambu.. atau biru, ataupun ungu..
Usap ia dengan sapu kain tanganmu
Mengapa?
Mengapa harus begitu?
Sebab dengan cara itu..
Pada saat bercintapun..
Kamu..
Anda..sudah mengurangi penebangan pohon
Mengurangi
penggundulan hutan
mengurangi anak cucu semakin berwajah kuyu
di kehidupan yang penuh semu
karena tanah pijakannya tak lagi seperti dulu. ***
Yonathan Rahardjo, 1999
Berita Bumi/ Konphalindo, 2000
JakartaKota – Bogor
Kemarin ia naik kereta listrik seperti biasa..
dari Jakarta ke Bogor
Ditinggalkannya rumahnya di bawah stasiun Gondangdia
dengan merangkak
karena ia tak lagi punya kaki..
Putus terlindas saat menyeberang rel kereta perkasa
saat ia mau memungut gelas plastik aqua,
Dan dimasukkannya ke dalam karung goni di punggungnya..
Untuk dijual sekilonya dua ribu lima ratus lima puluh perak
Tadi ia naik kereta listrik
dari Jakarta ke Bogor..
Tangannya menggapai tangga tempat penumpang dari segala otot dan keringat
menginjak-injak dan menetesi lantai besi tempatnya merangkak,
tangannya yang hitam jarang disabun tetap bertahan mencengkeram
gelas plastik yang telah peyok..
agar tetap bisa dipakainya menengadah
pada tante berlipstik merah menyala berambut keriting berbando kuning..
pada gadis berkaos ketat 'you can see my centre'
pada si kacamata Ketua PRD yang terpaksa nyaman menekuk punggung kayak ayam tetelo
mendengkur membebaskan diri dari desak dempetan penumpang
yang mengklaim kereta adalah Mercedes benz-nya yang
SSSSSSSSSS
Sangat Sempit Sekali Sampai-Sampai Santai Sekaki Saja Sulit Sekali
Baru saja..
Ia, si perjaka kumis jarang buntung kaki memeringiskan gigi kuning bercak coklatnya..
Sambil berteriak serak dinyaring-nyaringkan..
SEMOGA BAPAK DAN IBU SEMUA SELAMAT SAMPAI TUJUAN!
Dan..Krincing! Di gelas plastik aquanya sudah ada satu keping 'cepekan', uang seratusan, setiap dua puluh penumpang..
Sedetik lalu.. baru ia menyadari..
Ia tak pernah menghitung.. berapa kali ia bisa sampai Bogor setiap hari,
Padahal rumahnya di Gondangdia, kekasihnya Cikini
baru terlintas di benaknya pertanyaan..
berapa kali ia pergi pulang Bogor-Kota dengan plastik aqua
di jemari tangannya yang kian kusut disapu panas Jakarta,
panas kereta,
panas keringat,
dan kentut penumpang
Yang selalu dihitung hanya..
Yang bisa didengarnya..
Krincing!
Agar ia bisa kembali lagi ke Gondangdia..
Di lorong, di bawah jalur kereta rel listrik,
JakartaKota-Bogor
Setelah membeli lontong berbalut daun pisang
Di stasiun tempanya mengampil nafas…… panjang.
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 16 Juni 2000
Kabar Bumi Edisi 22/Mei-Juli 2001
dari Jakarta ke Bogor
Ditinggalkannya rumahnya di bawah stasiun Gondangdia
dengan merangkak
karena ia tak lagi punya kaki..
Putus terlindas saat menyeberang rel kereta perkasa
saat ia mau memungut gelas plastik aqua,
Dan dimasukkannya ke dalam karung goni di punggungnya..
Untuk dijual sekilonya dua ribu lima ratus lima puluh perak
Tadi ia naik kereta listrik
dari Jakarta ke Bogor..
Tangannya menggapai tangga tempat penumpang dari segala otot dan keringat
menginjak-injak dan menetesi lantai besi tempatnya merangkak,
tangannya yang hitam jarang disabun tetap bertahan mencengkeram
gelas plastik yang telah peyok..
agar tetap bisa dipakainya menengadah
pada tante berlipstik merah menyala berambut keriting berbando kuning..
pada gadis berkaos ketat 'you can see my centre'
pada si kacamata Ketua PRD yang terpaksa nyaman menekuk punggung kayak ayam tetelo
mendengkur membebaskan diri dari desak dempetan penumpang
yang mengklaim kereta adalah Mercedes benz-nya yang
SSSSSSSSSS
Sangat Sempit Sekali Sampai-Sampai Santai Sekaki Saja Sulit Sekali
Baru saja..
Ia, si perjaka kumis jarang buntung kaki memeringiskan gigi kuning bercak coklatnya..
Sambil berteriak serak dinyaring-nyaringkan..
SEMOGA BAPAK DAN IBU SEMUA SELAMAT SAMPAI TUJUAN!
Dan..Krincing! Di gelas plastik aquanya sudah ada satu keping 'cepekan', uang seratusan, setiap dua puluh penumpang..
Sedetik lalu.. baru ia menyadari..
Ia tak pernah menghitung.. berapa kali ia bisa sampai Bogor setiap hari,
Padahal rumahnya di Gondangdia, kekasihnya Cikini
baru terlintas di benaknya pertanyaan..
berapa kali ia pergi pulang Bogor-Kota dengan plastik aqua
di jemari tangannya yang kian kusut disapu panas Jakarta,
panas kereta,
panas keringat,
dan kentut penumpang
Yang selalu dihitung hanya..
Yang bisa didengarnya..
Krincing!
Agar ia bisa kembali lagi ke Gondangdia..
Di lorong, di bawah jalur kereta rel listrik,
JakartaKota-Bogor
Setelah membeli lontong berbalut daun pisang
Di stasiun tempanya mengampil nafas…… panjang.
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 16 Juni 2000
Kabar Bumi Edisi 22/Mei-Juli 2001
GEMPA KUASAMU
sunyi pagi menjerat kami
tak tahu kedatanganmu seperti pencuri
merampas nyawa kami yang kini berharga murah
menggodam tubuh kami yang masih punya darah
membanjirkan sgala upaya menjadi uap nyawa
berbalutkan darah-darah pergi
meninggalkan tangis yang menjadi
ciri
keseharian kami
dalam putus asa
tiada rumah tinggal,
karna smua tlah kau remuk
tiada tempat mengais nasi
sbab smua tlah kau rampas
tiada sanak saudara
sbab smua tlah kamu bunuh
dengan dingin,
tanpa mata berkedip
jantung kami pun ambrol
kamu betot
ketika di utara merapi sedang mengamuk dan memuntahkan abu
ketika di timur antar kami sendiri saling gencar mencabut urat-urat yang
menyusun rangka kami
ketika di barat pemerintah dan wakil kami berkelahi saling jambak
memperebutkan rambut cita-cita kami yang telah brodol
menyisakan botak asa mengikuti pertikaian
anak negeri yang selalu mengikuti kata hati sendiri
untuk membenarkan diri
hingga dari selatan
kau ingatkan kami atas
tindak dan hati terkutuk kami
untuk menengok sesuatu yang mesti
kami
utamakan
kuasamu, sungguh lebih
dahsyat.
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, Juni 2006
Buletin BINA DESA April-Juni 2006
tak tahu kedatanganmu seperti pencuri
merampas nyawa kami yang kini berharga murah
menggodam tubuh kami yang masih punya darah
membanjirkan sgala upaya menjadi uap nyawa
berbalutkan darah-darah pergi
meninggalkan tangis yang menjadi
ciri
keseharian kami
dalam putus asa
tiada rumah tinggal,
karna smua tlah kau remuk
tiada tempat mengais nasi
sbab smua tlah kau rampas
tiada sanak saudara
sbab smua tlah kamu bunuh
dengan dingin,
tanpa mata berkedip
jantung kami pun ambrol
kamu betot
ketika di utara merapi sedang mengamuk dan memuntahkan abu
ketika di timur antar kami sendiri saling gencar mencabut urat-urat yang
menyusun rangka kami
ketika di barat pemerintah dan wakil kami berkelahi saling jambak
memperebutkan rambut cita-cita kami yang telah brodol
menyisakan botak asa mengikuti pertikaian
anak negeri yang selalu mengikuti kata hati sendiri
untuk membenarkan diri
hingga dari selatan
kau ingatkan kami atas
tindak dan hati terkutuk kami
untuk menengok sesuatu yang mesti
kami
utamakan
kuasamu, sungguh lebih
dahsyat.
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, Juni 2006
Buletin BINA DESA April-Juni 2006
Nurani KOREK JUMBO
Katakan benar kau sekongkol tutup awan
Lafalkan ya kau hambat pemeriksaan
Ujarkan jujur, kau tutup masalah, tuk
Buat rasa salahmu makin kuat buat bejat
Penguasamu
Yang sekarang masih sungguh benar kuasa
Perkasa, mahadaya di negeri
dengan menghisap kami, darah,
nan bikin negeri ini ada
Yang punya hak sama
Duduk di kursi kebersamaan dan
meja perjamuan sederajat
Akui, kau masih punya telinga utuh
tuk sampaikan nurani semesta kepada nurani dadamu
seperti sayangmu pada anak, istri,
cucu, darah, dagingmu sendiri
kami, kamu, mereka, kita, manusia-manusia, wajah-wajah, orang-orang, darah-darah,
airmata-airmata, daging-daging, jiwa-jiwa, hati-hati, semua-semua.
Semua-semua adalah kamu juga, yang mestinya tak kau
Hilang paksa, mati perkosa,
mampus terhunus,
tewas teracun,
lunglai dan nyawa terbang hilang, sekedar
Untuk menyelamatkan posisi kuasa dan hasrat hidup terhormat sendiri, tanpa ancaman
bunga-bunga kebenaran
yang jadi korek
kuping buntu
mu
yang patut dibedah bunga kebenaran
setajam nuranimu sendiri.
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 10 Nopember 2005
Buku Antologi Puisi untuk Munir Nubuat Labirin Luka, Sayap Biru, Aceh Working Group, 2005
Lafalkan ya kau hambat pemeriksaan
Ujarkan jujur, kau tutup masalah, tuk
Buat rasa salahmu makin kuat buat bejat
Penguasamu
Yang sekarang masih sungguh benar kuasa
Perkasa, mahadaya di negeri
dengan menghisap kami, darah,
nan bikin negeri ini ada
Yang punya hak sama
Duduk di kursi kebersamaan dan
meja perjamuan sederajat
Akui, kau masih punya telinga utuh
tuk sampaikan nurani semesta kepada nurani dadamu
seperti sayangmu pada anak, istri,
cucu, darah, dagingmu sendiri
kami, kamu, mereka, kita, manusia-manusia, wajah-wajah, orang-orang, darah-darah,
airmata-airmata, daging-daging, jiwa-jiwa, hati-hati, semua-semua.
Semua-semua adalah kamu juga, yang mestinya tak kau
Hilang paksa, mati perkosa,
mampus terhunus,
tewas teracun,
lunglai dan nyawa terbang hilang, sekedar
Untuk menyelamatkan posisi kuasa dan hasrat hidup terhormat sendiri, tanpa ancaman
bunga-bunga kebenaran
yang jadi korek
kuping buntu
mu
yang patut dibedah bunga kebenaran
setajam nuranimu sendiri.
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 10 Nopember 2005
Buku Antologi Puisi untuk Munir Nubuat Labirin Luka, Sayap Biru, Aceh Working Group, 2005
DI-MUNIR, DI LABIRINNYA
Daun dedaun tak lagi hijau segar
coklat tua warnanya jalari sluruh kuning muka
Kering, retas dan lapuk
Luruh dan jatuh, melayang, lemas,
mati.
Dedaunan musim gugur nan layu di tanah putih
jemput matimu
tanpa penjelasan hakiki
di atas garuda bersayap hitam misteri
tembus kabut emas
kedok dari kain gombal
Sisakan mahakuatnya kuasa
menggurita
Melilit
Sedot sumsum tulang sampai kering
sisakan mata pincing
cacah curiga
sesak selidik
sarat tipu politik
Merengas darah kering
Makin kilap
Silaukan mata
dari
Tumbuh sehat merdeka bersama.
Yang kau
jaga sedari lahir
kelola selaksa waktu
juangkan sejurus mata
gegapkan
Tembus malam kilatkan terik siang
Hak Azasi Anak-anak Manusia
Dengan handai taulan
dan
Istri
tercinta
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 8 Nopember 2005
Buku Antologi Puisi untuk Munir Nubuat Labirin Luka, Sayap Biru, Aceh Working Group, 2005
coklat tua warnanya jalari sluruh kuning muka
Kering, retas dan lapuk
Luruh dan jatuh, melayang, lemas,
mati.
Dedaunan musim gugur nan layu di tanah putih
jemput matimu
tanpa penjelasan hakiki
di atas garuda bersayap hitam misteri
tembus kabut emas
kedok dari kain gombal
Sisakan mahakuatnya kuasa
menggurita
Melilit
Sedot sumsum tulang sampai kering
sisakan mata pincing
cacah curiga
sesak selidik
sarat tipu politik
Merengas darah kering
Makin kilap
Silaukan mata
dari
Tumbuh sehat merdeka bersama.
Yang kau
jaga sedari lahir
kelola selaksa waktu
juangkan sejurus mata
gegapkan
Tembus malam kilatkan terik siang
Hak Azasi Anak-anak Manusia
Dengan handai taulan
dan
Istri
tercinta
Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 8 Nopember 2005
Buku Antologi Puisi untuk Munir Nubuat Labirin Luka, Sayap Biru, Aceh Working Group, 2005
BURU (di pulau)
dindaku sayang
mari mengasah pisau
yang kita pakai untuk memotong
kayu
dan menghaluskannya untuk membuat
leher gitar
yang akan menemani
kita melewatkan malam di pulau bernyamuk
berular
bergelap tidak perpenghuni
kampung bekedap
mari kita lebih mendekatkan diri
ketika seharian lelah
menyiksa
tetesan keringat
mengucur
perut melilit
tekanan menerkam ulu hati
perintah-perintah orang berlars panjang
mengambil barang sesuka hati
dari setiap tetes keringat bercampur darah
kita
yang menyemainya di terik
panas siang
di ubun-ubun tengah hari
biar denting tali senar
dari kawat baja kabel-kabel sisa,
triplek bekas, kayu-kayu sisa,
krep-krep baja patah
patah menjadi wujud
percintaan kita
yang mengalirkan petikan
dentingan
genjrengan
alunan menggema dari rongga hawa membelah malam
menyuarakan kegalauan
kita
terdengar sampai jakarta
dan
new york
kau memang
sayangku
yang telah menyusul
dan menemaniku
memberi nafas
dan bercinta
bersama di pulau ini
menghitung hari
merangkai sajak pembelejetan hak-
hak hidup manusia
pki.
kemaluanku dipotong
ditempelkan di telinga
menggantikan alat pendengaran
yang saban hari dipopor bedil
angkatan darat
hingga untuk mendengar
orang bertanya
tentang bumi manusiaku
harus kusuruh
mereka berteriak
memakai pengeras suara
APAAAAAAAAAAA???????!!!!!!!!!!!!
Yonathan Rahardjo/ Perbatasan Jakarta-Depok, 30 September 2003
Buku Antologi Tragedi Kemanusiaan 1965
mari mengasah pisau
yang kita pakai untuk memotong
kayu
dan menghaluskannya untuk membuat
leher gitar
yang akan menemani
kita melewatkan malam di pulau bernyamuk
berular
bergelap tidak perpenghuni
kampung bekedap
mari kita lebih mendekatkan diri
ketika seharian lelah
menyiksa
tetesan keringat
mengucur
perut melilit
tekanan menerkam ulu hati
perintah-perintah orang berlars panjang
mengambil barang sesuka hati
dari setiap tetes keringat bercampur darah
kita
yang menyemainya di terik
panas siang
di ubun-ubun tengah hari
biar denting tali senar
dari kawat baja kabel-kabel sisa,
triplek bekas, kayu-kayu sisa,
krep-krep baja patah
patah menjadi wujud
percintaan kita
yang mengalirkan petikan
dentingan
genjrengan
alunan menggema dari rongga hawa membelah malam
menyuarakan kegalauan
kita
terdengar sampai jakarta
dan
new york
kau memang
sayangku
yang telah menyusul
dan menemaniku
memberi nafas
dan bercinta
bersama di pulau ini
menghitung hari
merangkai sajak pembelejetan hak-
hak hidup manusia
pki.
kemaluanku dipotong
ditempelkan di telinga
menggantikan alat pendengaran
yang saban hari dipopor bedil
angkatan darat
hingga untuk mendengar
orang bertanya
tentang bumi manusiaku
harus kusuruh
mereka berteriak
memakai pengeras suara
APAAAAAAAAAAA???????!!!!!!!!!!!!
Yonathan Rahardjo/ Perbatasan Jakarta-Depok, 30 September 2003
Buku Antologi Tragedi Kemanusiaan 1965
PULIHKAN Aceh
Munir digulung Aceh
Tahun Baru digulung Aceh
Imlek digulung Aceh
Pulihkan Aceh
kau tak kan mampu
kembalikan jasad kami
Yonathan Rahardjo /Jakarta, Januari 2005
Buku Antologi Puisi MahaDuka Aceh, PDS HB Jassin, 2005
Tahun Baru digulung Aceh
Imlek digulung Aceh
Pulihkan Aceh
kau tak kan mampu
kembalikan jasad kami
Yonathan Rahardjo /Jakarta, Januari 2005
Buku Antologi Puisi MahaDuka Aceh, PDS HB Jassin, 2005
Subscribe to:
Posts (Atom)